GORONTALO, INDONESIA PARLEMEN – Seperti inilah kondisi Taufik kue atau Buang dalam mencari nafkah di sebuah perahu rakitnya. Tak perduli malam,dan bagaimana kondisi sungai, ia harus bangun untuk memenuhi panggilan warga yang ingin menyebrang sungai. Selain itu, di pagi harinya juga, ia harus sudah bangun menyebrangkan beberapa anak sekolah, tampak terlihat ia berdiri di atas batu kali menunggu rakit  yang akan menyeberangkan mereka ke seberang sungai Mongiilo.

“Kak Buang,  jangan lama-lama,” seru Nurdin salah seorang anak, memanggil Taufik Kue (26) yang biasa dipanggil buang. Sabtu (9/9/2017). “Sabar, masih menunggu ibu dari seberang dulu,” kata Taufik menjelaskan.

Rakit penyeberangan itu telah berusia 13 tahun di Desa Mongiilo Kecamatan Bulango Ulu Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Rakit terbuat dari bambu, tersusun atas 90 batang bambu. 80 batang bambu Tomula (bambu tipis) dan 10 batang bambu Talilo (bambu sedang). Beberapa papan disusun di atasnya.  Setiap hari Taufik dan bapaknya, Gufran Kue (50) bergantian mengoperasikannya. Mereka membangun pondok tempat tinggal yang sangat sederhana di pinggir sungai.

“Setiap saat bisa dipanggil jika ada yang memerlukan, tinggal teriak dari seberang sungai,” katanya

Sudah 3 tahun ini Gufran dan anaknya melayani penyeberangan dengan rakit yang dimiliki oleh Yasin Nusi, warga Mongi’ilo. Setiap pagi hingga malam, dia melayani masyarakat, mulai petani, pedagang hingga siswa sekolah hilir mudik di sungai Mongi’ilo. Di seberang sungai, masih ada beberapa desa, Dusun Pohumbuo Monggi’ilo, Mongi’ilo Utara, dan Desa Ilomata. Hampir seluruh warganya adalah petani yang mengandalkan kebun jagung, aren, aneka hortikultura,  dan kelapa.

“Hari Rabu dan Kamis adalah hari paling ramai, banyak sekali antrean masyarakat yang akan menyeberang. Mereka membawa hasil kebun untuk dijual di pasar Kamis, Tapa,” kata Gufran.

Komoditas yang biasa dijual adalah gula aren, jagung, kopra, pisang dan sayuran. Mereka membawa keluar dagangannya pada hari Rabu di Pasar Kamis. Untuk membayar jasa penyeberangan ini, setiap orang cukup menyerahkan Rp 2.000. Motor dan barang dagangan tidak dihitung. “Kalau anak sekolah Rp 30.000 sebulan pergi pulang, lebih murah agar mereka mau berangkat sekolah, kelak menjadi orang yang baik dan berguna bagi bangsa dan negara,” kata Gufran tersenyum.

Anak-anak Desa Monggi’ilo harus pergi ke seberang sungai untuk bersekolah. Di seberang, ada beberapa sekolah seperti SDN 2 dan SMPN 2 di Mongi’ilo Utara dan SDN 6 di Desa Ilomata.
“Mereka adalah harapan bangsa, seperti halnya anak saya yang terakhir, masih sekolah kelas 8. Insya Allah kelak mereka memiliki ilmu yang bermafaat dan berbuat baik untuk sesama,” ucap Gufran. (Navis)