INDONESIA PARLEMEN – Suasana duka dalam insiden di Rakhine Miyanmar masih terdengar ditelinga. Banyak perahu berisi pengungsi Rohingya tiba di tepi pantai Bangladesh, sejak Kamis 7 September 2017 hingga jumat 8/9. Perahu-perahu itu menyusuri laut yang dangkal ke tepi pantai. Sejumlah pengungsi Rohingya pingsan. “Pengungsi Rohingya ini kelelahan, tetapi mereka lega karena telah tiba di Bangladesh,” ucap Vivian.

Vivian sudah 15 tahun bekerja di United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR), badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk masalah pengungsi. Baru kali ini ia melihat sebuah keadaan yang sangat memprihatinkan dan mengundang rasa pilu yang dalam.

“Pengungsi Rohingya ini mengingatkan saya pada foto ‘Manusia Perahu Vietnam’ pada tahun 1980-an. Bagaimana hal ini bisa terjadi kembali? Ini 30 tahun kemudian,” tutur Vivian, yang kini menjabat Senior Regional Public Information Officer UNHCR Asia.

Vivian mengungkapkan, sejak adanya kekerasan militer pada 25 Agustus 2017, diperkirakan terdapat 164.000 orang Rohingya yang telah mengungsi ke Bangladesh. Setiap hari, angka itu terus bertambah. Sebelum kejadian 25 Agustus itu, pemerintah Bangladesh telah menampung sekitar 74.000 pengungsi yang menjadi korban konflik tentara Myanmar dan kelompok militan Rohingya, ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army) pada Oktober 2016 dan Februari 2017.

“Selain itu, Bangladesh telah menjadi tuan rumah dari 34.000 Rohingnya dan sudah teregistrasi di dua kamp resmi dan beberapa ribu Rohingnya lainnya yang tidak teregistrasi yang berada di luar kamp,” kata Vivian.

Belum lagi jumlah warga Rohingya yang tewas akibat kejadian terakhir. Tak pelak, Rohingya pun kembali menyita keprihatinan dunia. Krisis kemanusiaan yang menimpa etnis tersebut membuat negara yang dipimpin Daw Aung San Suu Kyi itu menuai banyak sorotan internasional, termasuk dari Indonesia.

Demonstrasi dan penggalangan dana untuk solidaritas Rohingya digelar sejumlah ormas Islam di kantor Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta dan Bundaran Hotel Indonesia. Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, bahkan menjadi sasaran demonstrasi, meski akhirnya dapat dicegah. Namun pendaftaran mujahidin untuk berperang melawan Myanmar diklaim oleh Front Pembela Islam terus mengalir.

Hingga saat ini, boleh dibilang baru pemerintah Indonesia yang aktif membantu mengakhiri krisis kemanusiaan di negara yang dulu bernama Burma tersebut. Bahkan organisasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) belum mengeluarkan pernyataan sepatah kata pun atas masalah Rohingya itu.

Presiden Joko Widodo mengutus Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada Senin, 4 September, ke Yangon. Ditemani Duta Besar RI untuk Myanmar Ito Sumardi, Retno bertemu dengan Suu Kyi, Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing, serta pejabat terkait. Retno juga terus berkoordinasi dengan Sekjen PBB Antonio Guterres dan Komisi Penasihat Khusus PBB untuk Rakhine State Kofi Annan.

Kepada Suu Kyi, Retno menyampaikan beberapa pesan dan usulan yang disebutnya sebagai Formula 4+1. Formula itu adalah meminta Myanmar mengembalikan stabilitas dan keamanan, menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan, memberikan perlindungan kepada semua orang yang berada di negara bagian Rakhine tanpa memandang suku dan agama, serta segera membuka akses untuk bantuan kemanusiaan.

Retno juga merekomendasikan kepada Suu Kyi membentuk Advisory Commission on Rakhine State, yaitu komite dan badan penasihat untuk mengawasi implementasi rekomendasi yang diinisiasi oleh Kofi Annan, mantan Sekjen PBB. “Saya hadir membawa amanah masyarakat Indonesia, yang sangat khawatir terhadap krisis kemanusiaan di Rakhine dan agar Indonesia membantu,” kata Retno. (Jones)