JAKARTA – Deretan kebohongan yang dilakukan oleh Dwi Hartanto, mahasiswa doktoral di Technische Universiteit (TU) Delft, Belanda menuai kekecewaan banyak orang, terutama dari kalangan akademisi dan ilmuwan. Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) juga mengaku telah dikelabui oleh Dwi Hartanto sehingga dia diundang dalam forum Visiting World Class Professor (WCP) yang menghadirkan para ilmuwan terkemuka dari kalangan diaspora Indonesia.

Menurut Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti, Ali Ghufron Mukti, Dwi terpilih hadir di acara tersebut berdasarkan riwayat hidup, capaian, dan prestasi akademisnya. Dwi juga mengirim pernyataan melalui surat elektronik bahwa dia merupakan asisten profesor yang tengah dipersiapkan dan diproyeksikan menjadi profesor permanen di Technische Universiteit Delft (TU Delft), Belanda. Hal itulah yang semakin meyakinkan Kemristekdikti untuk menghadirkan Dwi di acara WCP yang digelar pada Desember 2016 itu.

Thomas Djamaluddin selaku Ketua Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga sangat menyayangkan kebohongan yang dilakukan Dwi. Kebohongannya telah mencederai kode etik sebagai seorang ilmuwan. “Tentunya sangat disayangkan kejadian seperti itu dilakukan karena sudah melanggar kode etik dalam penelitian dan karya ilmiah,” ujar Djamal usai ditemui di acara Multi GNSS Asia (MGA) Conference di Hotel Ayana MidPlaza Jakarta, Senin (9/10/17) siang.

Dwi sebelumnya disebut-sebut sebagai ‘the next Habibie’ setelah dia mengklaim sejumlah prestasi yang luar biasa di bidang teknologi dirgantara dan antariksa. Dia mengaku menjadi bagian dalam proyek pesawat tempur EuroTyphoon generasi keenam di Airbus Space and Defence, konsorsium industri pertahanan Eropa yang tentu penuh kerahasiaan.

Dia juga sesumbar pernah mengatakan menjuarai lomba riset teknologi luar angkasa di Cologne, Jerman, dengan judul riset “Lethal Weapon in the Sky” atau “senjata mematikan di angkasa” dan dari situ mematenkan sejumlah teknologi. Ghufron mengatakan kasus Dwi ini menjadi evaluasi Kemristekdikti dalam menyelenggarakan program serupa di kemudian hari.

“Kasus saudara Dwi ini menjadi pembelajaran bagi kami agar ke depannya program serupa dapat berjalan dengan lebih baik lagi. Kami terus melakukan evaluasi yang berkelanjutan, tidak hanya pada program ini, tetapi kepada seluruh program dan kebijakan,” jelas Ghufron.

Paulina Pannen, Staf Ahli Bidang Akademik Kemenristekdikti juga menyatakan kekecewaan yang sama. Padahal menurutnya, Dwi tidak harus menjadi seseorang yang bukan dirinya hanya untuk mendapatkan perhatian media.

“Sayang, sekali seorang pemuda tidak mau mengakui kekurangan dirinya bahwa dia bukan ilmuwan dirgantara,” ujarnya. Paulina juga menyangkan sikap media yang melakukan pemberitaan tanpa melakukan pengecekan ke lembaga terkait.

Kebohongan publik telah terjadi sejak 2 tahun terakhir. Awalnya ada seorang yang mengenal Dwi secara pribadi dan mengetahui kebohongan itu serta membagikan hasil investigasi bersama alumni TU Deft. (Jones)