JEPARA – Sebuah pertunjukan seni tradisi gaya baru telah digelar, yaitu pementasan bersama antara pembacaan kidung macapat dengan wayang kulit. Pentas yang berlangsung belum lama ini dipelataran parkir Musium RA Kartini tersebut diselenggarakan oleh paguyuban Sedya Laras bekerjasama dengan Yayasan Kartini Indonesia didukung oleh Diskominfo Kabupaten Jepara
Kidung macapat mengisahkan sebuah lakon dari salah satu episode wayang dan usai beberapa pupuh ditembangkan, sang dalang menghadirkan kisah itu melalui pertunjukan wayang kulit.

Seniman seni tradisi yang menembangkan kidung macapat adalah penciptanya sendiri yaitu Mbah Subri Tejosasono, usia 72 tahun.. Ia seorang penghayat macapat dari Desa Tubanan Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara. Mbah Subri mencipta rangkaian pupuh-pupuh atau bait macapat tentang perjalanan sang Abimanyu, sejak lahir hingga gugur di medan laga Baratayuda.

Bagi Mbah Subri, macapat merupakan bagian tak terpisah dari hidupnya. Setiap saat Mbah Subri menulis macapat, baik untuk kegiatan selapanan, mitoni atau selamatan tujuh bulan usia kandungan, lamaran, tahun baru, dan lain-lain. Pada pertunjukan ini ia menembang ditemani oleh Mas Rebani dan Ibu Sutini.

Sementara dalang wayang kulit untuk pentas perdana ini adalah Ki Hadi Purwanto dari Desa Bandengan, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara. Dengan menghadap penonton, tanpa kelir dan wayang simpingan, Ki Hadi Purwanto membawakan tokoh-tokoh wayang kulit sesuai alur cerita kidung macapat. Ki dalang menjelaskan, memaknai dan menyampaikan kisah serta nilai-nilai yang terkandung di dalam setiap adegan.

Menurut pegiat kebudayaan, Iskak Wijaya dari Yayasan Kartini Indonesia, kolaborasi antara kidung macapat dengan wayang kulit ini setidaknya digagas untuk dua tujuan utama. Pertama, menguatkan serta melestarikan tradisi macapat dan pentas wayang kulit dengan cara melakukan kontekstualisasi maupun penciptaan teks dan isi pesannya sesuai dengan jiwa zaman atau kondisi saat ini.

Menurut Iskak Wijaya, macapat merupakan tradisi teks puisi Jawa yang memuat pesan-ajaran budaya secara luas. Juga menjadi ruang baru untuk dimuati kembali di dalamnya sesuai tafsir atau konteks kekinian tanpa mengubah kaidah bentuknya. Kedua, menyampaikan pesan sosial bahwa pertunjukan seni tradisi adalah sebuah model terbuka bagi terjadinya dialog budaya secara luas. Seni tradisi dapat dijadikan ajang sosialisasi dalam pengertiannya sebagai sarana komunikasi di ruang publik. 

“Pertunjukan seni tradisi juga dapat dijadikan perhelatan untuk memaknai zaman kontemporer ini, sekaligus kritik, koreksi, maupun penyadaran peran individu/sosial sebagai warga masyarakat dan warga bangsa,” ujar Iskak Wijaya.

Pada kesempatan itu dipertontonkan juga seni tongtek yang sedang marak dan diminati masyarakat. Sanggar tongtek Kaloka Jaya berkesempatan tampil dengan membawakan lagu-lagu Jawa dan pop. Ada juga pesan dan himbauan dari Dinas Kominfo Kabupaten Jepara yang disampaikan oleh Kepala Bidang Komunikasi, Arif Darmawan tentang pentingnya penggunaan medsos yang baik dan benar.

Sementara itu Ki Dalang Hadi Purwanto mengungkapkan, pertunjukan seni tradisi adalah bagian dari budaya yang menjadi identitas dan jati diri bangsa. ” Namun demikian agar tak usang, seni tradisi tidak boleh mengabaikan kreatifitas hingga seni tradisi bisa terus terpelihara sebagai kearifan lokal” ujar Hadi Purwanto. (Rai)