JAKARTA – Perjuangan reformasi 1998, adalah bentuk rasa ketidakpuasan rakyat terhadap rezim saat itu, yang dipelopori oleh mahasiswa di seluruh Tanah Air. Hal ini dilakukan atas dasar, terjadinya praktek-praktek pemerintahan, pembangunan insfrastruktur, ekonomi, sosial budaya, dan politik yang tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan proklamasi 1945. Kesemuanya penuh dengan proses tipu mendaya sehingga, lahirlah perjuanagan rakyat melalui mahasiswa pada Tahun 1998.

“Hiruk pikuk, yang terjadi dalam perjuangan tersebut, banyak rakyat dan mahasiswa para aktivis, menderita, diintimidasi, terjadinya penembakan, pembakaran, bahkan banyak terjadi korban jiwa yang dilakukan oleh rezim tersebut,” terang peneliti Indonesian Public Institute, Kapitan Kelibai, S.PdI,. Kepada Indonesiaparlemen.com, Senin (7/5/2018).

Oleh sebab itu, lanjutnya. maka melalui segala proses saat ini dan menyambut kemenangan dalam perjuangan tersebut, tentunya memiliki subyektifitas dan kekurangan serta keberhasilan dan obyektifitas para pejuang 98’.

Proses ini tidak dapat dipungkiri bahwa, terjadinya suatu perubahan sksn dipengaruhi oleh kondisi internal kebangsaan dan eksternal atau global. Memiliki kepentingan dalam perjuangan tersebut. Pertama, secara internal proses pemerintahan dan pelayanan terhadap masyarakat yang tidak sesuai dengan amanat kemerdekaan, seperti pelayanan yang tidak baik terhadap rakyat, terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme dalam segala aspek pembangunan, mind set harga pasar yang dikuasai pasar di banding pemerintah, penciptaan keterisolasian pada daerah yang memiliki hasil alam yang mumpuni, komunisasi dan transparansi yang tidak transparan, terjadinya intimidasi bangsa dengan bangsa, suku, agama, ras dan seterusnya.

“Ini dikuasai oleh sekelompok orang yang sangat dekat dan memiliki hubungan spesial dengan rezim saat itu,” jelasnya.

Kedua, secara eksternal, kepentingan global yang sangat dahsyat dalam hal menginginkan kemiskinan terjadi, menguasai dan melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam dan menghisap sumber daya manusia Indonesia untuk kepentingan tersebut.

Hal ini dilakukan secara massif, di berbagai aspek kehidupan Bangsa dan negara selama kurang lebih 32 tahun.

Oleh sebab itu, dengan fenomena tersebut, maka rakyat merasa terdesak, dan kehidupannya melarat maka secara menyeluruh bangsa ini berteriak dengan slogan reformasi 1998. Dan Mahasiswa dan para aktivis secara totalitas mengarahkan kekuatan, baik secara fisik maupun psikis dan mengorbankan materi, pikiran dan waktu untuk melakukan perjuangan yang sangat dasyat dan meraih hasil dengan berbagai kesepakatan dalam perjuangan dimaksud.

Dalam setiap perjuangan tentunya memiliki tujuan dan maksud untuk menuju proses yang lebih baik, aspek tantangan, hambatan yang dilatarbelakangi oleh kondisi-kondisi yang telah terjadi sebelumnya.

“Rakyat saat ini yang dipelopori oleh mahasiswa dan aktivis memiliki kesepakatan bersama atau yang lebih trend disebut dengan Agenda Reformasi 98’ yang diprakarsai oleh Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta dan empat tokoh reformasi di antaranya adalah, KH Abdurahman Wahid (Gus Dur), Amin Rais, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Megawati Soekarnoputri,” ungkapnya.

Setelah sidang Istimewa MPR dengan menghasilkan 12 ketetapan. Dalam kesepatan itu adalah, semata-mata menginginkan perubahan baik secara birokrasi, Dwi fungsi ABRI, persatuan dan kesatuan bangsa, kedaulatan rakyat, pemilu yang luber dan jurdil, mengusut pelaku KKN, terutama Soeharto dan kroninya, mendesak anggota PAM Swakarsa membubarkan diri.

Pertemuan tersebut dilaksanakan di kediaman Gus Dur, Ciganjur, Jakarta Selatan, pada tanggal 10 November 1998.

Kepentingan Neo Leberalisme Menumpang Reformasi. Kepentingan ini adalah kepentingan Global atau eksternal, yang mendorong dengan memanfaatkan reformasi untuk mendorong perubahan regulasi dalam rangkah agar kepentingannya dapat terakomodir. Hal ini, ada 9 tokoh elit politik dan kerohanian yang dibentuk dalam Komite Reformasi dengan agenda komite tersebut adalah, menyelesaikan UU kepartaian, UU Pemilu, UU Susunan dan Kedudukan MPR/DPR serta DPRD, UU anti-monopoli, UU anti korupsi dan lainya.

“Namun ada keanehan dan pertanyaan bagi kita bahwa apakah melalui reformasi ada tujuan reformasi untuk melakukan amandemen UUD 45? Hal ini patut dipertanyakan agar tidak menjadi dosa dan sejarah buruk bagi perjuangan reformasi 98,” tuturnya.

Inilah yang menjadi kepentingan global atau neo-leberalisme dalam menunggangi perjuangan reformasi. Tokoh Reformasi Atau Tokoh Amandemen UUD 45’
Reformasi menjadi sebuah gerakan yang dahsyat saat itu, menuai hasil yang tentunya terdapt kelebihan dan kekurangan di dalamnya.

Baik kepentingan individu maupun kepentingan kelompok, namun sampai saat ini belum ada yang merasa memiliki kepentingan rakyat seutuhnya. Menjadi tokoh Perjuangan demi kepentingan rakyat tentunya memiliki kreteria dan menjadi pertanyan bagi kita bahwa, apakah perjuangan seseorang yang saat itu menjadi harapan dan tumpuan rakyat, dan melakukan sesuatu dengan memiliki kapitasnya dan kewenangan tanpa melalui konsensus rakyat?

“Tokoh amandemen UUD 45 adalah Amin Rais yang sat itu menjadi Ketua MPR-RI (1999-2004), apakah ini yang disebut dengan tindakan keteledorannya beliau, dan patut dicurigai bahwa beliau juga adalah salah satu antek Neo liberalisme, dan mengikuti perkembangan dua dekade reformasi ini,” ungkapnya.

Maka, dapat di anggap layak menjadi pahlawan atau tokoh reformasi.? tanyanya.

Menjadi landasan bagi kita bersama bahwa, jika suatu bangsa tidak menghargai jasa dan perjuangan para pahlawannya maka, kita siap menanti kehancuran bangsa kita pula.

Hal ini sebagaimana telah disampaikan oleh, Hardjono Dosen Fakutas Hukum Universitas Indonesia (UI) dalam disertasinya, beliau menyatakan bahwa; UUD 45 yang sekarang ini sudah mengalami empat kali amandemen sehingga semakin jauh dari cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia.

Bahkan, tidak memiliki relevansi dengan paradigma holistik ekologi Fritjot Capra dalam konteks filsafat ilmu hukum.

Bahwa, Gerakan Reformasi belum selesai dan masih banyak yang menumpang gerakan tersebut, baik secara internal maupun eksternal.

“Bahwa, seseorang disebut tokoh, adalah memiliki pola berpikir, tingkalaku, ketauladanan, pribadi, dan intelektualnya yang secara totalitas baik ke-Indonesiaan maupun global. Bahwa, dengan tindakan tokoh reformasi yang keliru menimbulkan sejarah perjuangan yang buruk bagi generasi kelak,” pungkasnya. (Glen)