JAKARTA – Karyono Wibowo Direktur Ekskutif The Indonesian Public Institute (IPI) menilai Putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menolak gugatan Hizbut Tahir Indonesia (HTI) untuk seluruhnya merupakan putusan tepat demi penyelamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945.

Lanjut kata Karyono, pertimbangan Majelis Hakim dalam mengeluarkan putusan sudah on the track, antara lain, didasarkan pada keterangan saksi-saksi yang selama ini telah menyampaikan pandangan di dalam persidangan.

Selain itu, Putusan Majelis Hakim sangat beralasan karena didasarkan pada aturan yang berlaku dimana telah ditegaskan bahwa ormas dapat dibubarkan apabila ada upaya untuk mengganti dasar negara Pancasila.

“HTI telah terbukti menyebarkan dan memperjuangkan paham khilafah untuk mengganti dasar negara dan sistem pemerintahan sebagaimana terekam dalam video kegiatan Muktamar HTI tahun 2013 silam,” tegas dia.

Lantaran menurutnya, dalam sistem demokrasi, pemikiran khilafah sepanjang masih dalam sebatas konsep masih bisa dimaklumi.

Namun ujar Karyono, bila sudah diwujudkan dalam aksi yang berupaya mengganti Pancasila maka dapat berpotensi menimbulkan perpecahan bangsa.

Oleh karena itu. ormas apapun, tidak hanya HTI, jika ada ormas yang berupaya menyebarkan komunisme atau paham lain untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara maka ormas tersebut harus dibubarkan.

Terkait dengan putusan PTUN yang menolak gugatan HTI, maka setiap warga negara harus menerima dan menghormati putusan tersebut.

“Putusan PTUN yang menolak gugatan HTI telah menguatkan Surat Keputusan Menkumham Nomor AHU- 30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan Status Badan Hukum HTI,” tuturnya.

Dengan demikian, HTI sebagai organisasi massa (ormas) secara sah telah dibubarkan.

Walau demikian, pemerintah dan seluruh komponen bangsa harus Surat Keputusan Menkumham Nomor AHU- 30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan Status Badan Hukum HTI dinyatakan tetap berlaku. organisasi trans nasional seperti HTI.

Karena organisasi seperti HTI bukan organisasi yang bebas “nilai” tetapi organisasi yang memiliki doktrin ideologi yang sangat kuat.

Selain itu, organisasi transnasional seperti HTI telah terafiliasi dan terhubung dengan organisasi yang memiliki platform perjuangan yang sama di sejumlah negara. Organisasi militan seperti HTI nampaknya tidak mudah melunak. Karena bagi kader HTI, ideologi tidak pernah mati (idelogy never dies). Gejala tersebut masih nampak jelas. PascaPutusan PTUN sejumlah kader HTI masih melakukan perlawanan. Mereka menggunakan tameng Pasal 28 UUD NRI 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul.

Dalam konteks ini jelas peneliti senior IPI ini, HTI menggunakan sepenggal pasal sekadar untuk tameng. Bahwa benar UUD 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Tetapi, pasal 28 UUD 1945 juga menyebutkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul tersebut diatur dengan undang-undang. Disinilah HTI tidak konsisten.

Pasalnya, di satu sisi HTI menilai sistem pemerintahan thogut tapi di sisi lain mereka gunakan sebagian pasal untuk kepentingannya.

“Hendaknya, HTI jangan hanya menggunakan pasal tentang kebebasan berserikat sebagai tameng untuk melindungi kepentingannya,” ujarnya.

Tidak hanya menggunakan sepenggal pasal tentang kemerdekaan berserikat sebagai tameng, ada kecenderungan HTI juga menggunakan umat sebagai tameng dengan membuat propaganda dengan membuat tagar provokatif yang bertujuan untuk membangkitkan ghirah agama. Hal itu bisa diiamati dari sejumlah tagar yang menjadi viral di media sosial. Tagar tersebut antara lain adalah #HTILayakMenang, #DukungHTIUntuk Islam, #Dukung HTI Untuk Umat, #DukungHTIUntuk Dakwahdan Khilafah.

Nampaknya ujarnya, HTI masih ingin mencoba menunjukkan eksistensinya dengan mengabaikan produk hukum. Situasi yang perlu diwaspadai adalah jika kekuatan politik oposisi ikut memanfaatkan HTI dan berada di balik perlawanan HTI dengan menempuh cara ekstra parlemen atau melalui cara cara inkonstitusional.

“Di tahun politik sekarang ini, apalagi di tengah pertarungan politik yang miskin etika dan minus kenegarawanan maka segala kemungkinan bisa saja terjadi. Oleh karenanya, publik juga perlu memahami masalah ini agar tidak terprovokasi dan terpengaruh oleh propaganda politik yang kerap menggunakan agama sebagai tameng. Padahal, di balik itu sesungguhnya hanyalah syahwat kekuasaan,” tutup dia. (Glen)