JAKARTA – Pilpres 2019 merupakan pertarungan antara rezim pro reformasi dan orde baru pendukung Soeharto maupun Keluarga Cendana, hal itu dikatakan Sekjen Perhimpunan Nasional Aktivis 98 (PENA 98) Adian Napitupulu.

Pemilu 2019 yang menyerentakkan pemilihan legislatif dan presiden merupakan momentum penting bagi perjalanan reformasi ke depan. Menurutnya, masyarakat akan melihat pihak yang pro-reformasi dan kubu yang pura-pura reformis padahal menjadi kaki tangan Orde Baru yang telah runtuh 20 tahun lalu.

“Saya menggambarkan Pemilu 2019 itu perang kedua antara mereka yang pro-reformasi dan mereka yang pro-Orde Baru. Hari ini orang mengaku reformis, tapi pilihan 2019 akan membuktikan apakah mereka reformis atau tidak,” papar Adian pada penutupan pameran foto dan diskusi tentang 20 Tahun Reformasi di Graha Pena 98, Jakarta, Senin (21/5/18) siang.

Politikus PDI Perjuangan itu meyakini pihak mendukung Orba akan berjuang habis-habisan. Sebab, Pemilu 2019 merupakan momentum terakhir bagi kelompok Orba untuk kembali ke kekuasaan.

“2019 adalah memontum terakhir yang akan digunakan oleh kelompok Orba untuk kembali berkuasa. Kami berpikir mereka akan menggunakan seluruh kemampuan, termasuk kekuatan finansialnya untuk memenangi Pemilu 2019,” jelasnya.

Untuk menghadapi kemungkinan itu, Adian mengajak para pendukung reformasi tak akan tinggal diam. “Kami akan menggunakan seluruh kemampuan, semua jejaring, seluruh kekuatan untuk menghadapi mereka di 2019,” kata Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan ini.

Dia juga menekankan bahwa aktivis 1998 yang kini telah menyebar di banyak posisi pemerintahan dan swasta akan mampu menangkalnya.

Aktivis 1998 lainnya, Akhmad Yuslizar meyakini adanya aktivitas yang sistematis berupaya membangun “opini negatif” terhadap era reformasi dengan cara membandingkan era orba yang jauh lebih baik dibanding era reformasi.

“Melakukan sebaran berita di medsos atau online lewat nara sumber-nara sumber anti reformasi. Bahkan mereka mengeluarkan hasil survei yang mengatakan tingkat kepuasan rakyat lebih tinggi di era orba, dibanding saat ini,” kata Yuslizar.

Pria yang akrab disapa Yos ini mengatakan, upaya membandingkan era kepemimpinan Jokowi selama empat tahun dengan kepemimpinan orba selama 32 tahun adalah hal yang tidak masuk akal.

Agar jangan pernah kembali ke orba, PENA 98 pun menyampaikan fakta bagaimana kelamnya rezim tersebut selama berkuasa, di antaranya disampaikan melalui foto-foto tentang hiruk pikuk perjuangan menumbangkan orba yang berhasil diabadikan melalui jepretan kamera. Ratusan foto tersebut dipamerkan secara serentak di 11 provinsi, di antaranya di 29 perguruan tinggi atau universitas mulai Aceh hingga Sulawesi.

Acara ini untuk mengingatkan terus menerus apa yang diperjuangkan aktivis 20 tahun yang lalu. Bahwa perjuangan itu bukan hal yang mudah. Apa yang dinikmati hari ini tidak bisa dilepaskan dari perjuangan 20 tahun yang lalu.

Pada kempatan ini, Adian juga menegaskan, pada 2019-2024 mendatang, harus mengusut tuntas dalang dan pelaku insiden kerusuhan dan perkosaan pada 13 dan 14 Mei 1998.

“Sudah 20 tahun kita menunggu. Seribuan yang dibunuh ini di luar mahasiswa yang meninggal, yang dibunuh di Yogya, Palembang, Trisaksi, dan rangkaiannya sampai Semanggi,” ujar Adian.

Sesuai catatan PENA 98, dalam insiden tersebut setidaknya ada 149 orang perempuan diperkosa, 1.190 orang tewas dengan tubuh terbakar, 27 orang dibunuh mengenaskan menggunakan senjata tajam, dan 13 pasar hancur.

PENA 98 menduga bahwa aksi serentak dan masif itu terjadi karena ada kekuatan besar yang sengaja menggerakan. Kekuatan besar ini belum berhasil diungkap karena pelaku masih mempunyai kekuatan secara ekonomi dan politik.

“Tahun 2019 adalah `perang` yang kedua kalinya antara mereka yang pro reformasi dan mereka yang pro terhadap Cendana (orde baru). Siapa pendukung tokoh reformis dan siapa yang mendukung tokoh orba akan terlihat pada 2019 nanti,” tegas Adian. (Truspal/Jones)