JAKARTA – Implementasi industri 4.0 dapat menjadi salah satu strategi untuk menciptakan Ekonomi Pancasila berbasis digital. Hal ini sesuai dengan arah peta jalan Making Indonesia 4.0 dalam upaya meningkatkan kinerja industri nasional melalui pemanfaatan teknologi terkini dan inovasi guna dapat mewujudkan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat seluas-luasnya.

“Dalam Making Indonesia 4.0, kita sudah punya 10 langkah prioritas yang perlu dijalankan untuk mendongkrak perekonomian nasional di era ekonomi digital sesuai prinsip dasar Ekonomi Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian, Ngakan Timur Antara di Jakarta, Kamis (24/5).

Ngakan menjelaskan, kebijakan pemerataan ekonomi yang telah dijalankan Kementerian Perindustrian, misalnya memfasilitasi pembangunan kawasan industri di luar Jawa. “Contohnya, kawasan industri Morowali yang mampu memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut hingga 60 persen atau 12 kali lipat dari pertumbuhan ekonomi nasional,” ungkapnya.

Kemudian, langkah prioritas nasional yang tengah diakselerasi adalah memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hampir 70 persen, pelaku usaha Indonesia berada di sektor UMKM. “Pemerintah berkomitmen untuk mendukung pelaku UMKM dengan membangun platform e-commerce. Maka itu, Indonesia akan melakukan percepatan pembangunan infrastruktur digital,” tutur Ngakan.

Kemenperin telah mengajak para pelaku industri kecil dan menengah (IKM) nasional supaya ikut serta dalam program e-Smart IKM. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan perluasan pasar bagi produk IKM lokal hingga mampu menembus pasar ekspor melalui pemanfaatan platform digital.

Ngakan menyebutkan, beberapa peluang pengembangan ekonomi digital di Indonesia, di antaranya adalah koneksi internet telah menjangkau 51,8 persen dari populasi penduduk. Hal ini dapat mendorong pengembangan usaha rintisan (startup) di dalam negeri.

“Selain itu, peningkatan permintaan produk digital, seperti telepon seluler (ponsel),” ujarnya. Pengguna aktif ponsel di Indonesia tumbuh signifikan, dari 55 juta orang pada tahun 2015 dan diproyeksi menjadi lebih dari 100 juta orang tahun 2018.

Ngakan menyampaikan, potensi Indonesia memasuki era revolusi industri keempat atau ekonomi digital, karena juga akan menikmati bonus demografi selama periode tahun 2020-2030. Momentum tersebut ketika jumlah penduduk didominasi oleh yang berusia produktif (15-64 tahun)mencapai 70 persen.

“Bahkan, pada tahun 2030, diprediksi sebanyak 135 juta penduduk Indonesia akan memiliki penghasilan bersih di atas USD3.600 sebagai konsumen e-commerce,” imbuhnya. Ngakan pun meyakini, digitalisasi memberi kesempatan luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam melakukan kegiatan ekonomi.

Namun demikian, sejumlah langkah prioritas nasional Making Indonesia 4.0 tersebut, perlu didukung melalui program pendidikan dan pelatihan vokasi guna meningkatkan kompetensi sumber daya manusia Indonesia sesuai kebutuhan dunia industri saat ini.

“Kami optimistis, apabila semua program dan kebijakan dijalankan secara terintegrasi, target Indonesia menjadi 10 besar negara ekonomi terkuat di dunia pada tahun 2030 bisa tercapai,” tegas Ngakan.

Pada kesempatan berbeda, Ngakan mengatakan, Kemenperin terus menyiapkan segala sesuatu dalam upaya mengimplementasikan revolusi industri generasi keempat di Tanah Air sesuai peta jalan Making Indonesia 4.0 Salah satunya adalah dengan menyusun regulasi mengenai Audit Teknologi Industri (ATI).

Lebih lanjut lagi Ngakan menjelaskan, bahwa ATI merupakan metode untuk melakukan identifikasi kekuatan dan kelemahan aset teknologi (tangible and intangible asset) dalam rangka pelaksanaan manajemen teknologi.

“Teknologi diharapkan dapat berperan penting dalam meningkatkan mutu kehidupan dan kesejahteraan masyarakat serta meningkatkan daya saing industri,” tuturnya.

Peranan penting karena sebagai salah satu tools atau alat analisa dan evaluasi terhadap penerapan teknologi yang dimanfaatkan oleh industri di Indonesia. “Jadi, nantinya didapatkan gambaran yang utuh mengenai penggunaan teknologi tertentu oleh industri serta tahapan yang harus disiapkan industri dalam penerapan teknologi industri 4.0,” jelas Ngakan.

Di samping itu, hasil ATI dapat menjadi bahan rekomendasi bagi pemerintah untuk menyiapkan regulasi atau insentif yang tepat dalam penerapan industri 4.0. “Bahkan, data yang diperoleh dari hasil ATI ini juga bisa menjadi masukan dalam menyusun dan melaksanakan research, development and design (RD&D) untuk mendukung program Making Indonesia 4.0,” imbuhnya.

Ngakan berharap, sinergi antara pengembangan RD&D industri 4.0 serta penerapan regulasi dan insentif yang dikeluarkan oleh pemerintah bagi industri nasional, dapat memacu target utama di dalam Making Indonesia 4.0 yaitu menjadikan Indonesia masuk peringkat 10 besar ekonomi terkuat di dunia pada tahun 2030 dan menjadi negara industri tangguh tahun 2035.

“Adapun dasar penerapan ATI di sektor industri merupakan amanat Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian pada Pasal 41, bahwa Pemerintah dapat melakukan audit teknologi industri terkait pengendalian pemanfaatan teknologi industri,” paparnya.

Pengendalian ini dilakukan dalam rangka pelarangan dan pembatasan atas teknologi-teknologi yang dinilai tidak layak untuk industri seperti boros energi, beresiko pada keselamatan dan keamanan, serta berdampak negatif pada lingkungan.

“Dengan dilakukannya pengendalian ini, diharapkan teknologi yang digunakan oleh industri dapat meningkatkan mutu, efisiensi dan daya saing industri nasional, serta meminimalkan resiko-resiko yang mungkin ditimbulkan atas pemanfaatan teknologi yang kurang tepat oleh industri,” pungkasnya.(Glen)