JAKARTA – Sistem pemerintahan bangsa Indonesia saat ini adalah presidensial secara demokrasi terpimpin. Demokrasi dapat sendiri diartikan sebagai suatu sistem pemerintahan dengan mengikutsertakan rakyat sebagai subjek demokrasi. Demokrasi menjadi bagian yang vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap negara mengaktualisasikan definisi sendiri-sendiri mengenai demokrasi itu, termasuk bangsa Indonesia. Perlu diingat bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana termaktub pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Sehingga antara demokrasi dan negara hukum jelas berkaitan, dan kedua hal itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Di Indonesia, dikenal dengan adanya demokrasi pancasila yang artinya sistem tatanan kehidupan negara dan masyarakat berdasarkan kedaulatan rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai luhur pancasila.

Paham demokrasi pancasila sebenarnya bersumber pada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang diwujudkan dalam ketentuan-ketentuan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD NRI 1945. Esensi fundamental dari demokrasi khas Indonesia yang berdasarkan pancasila yaitu demokrasi pancasila tercantum dalam sila keempat pancasila yang berbunyi ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’. Demokrasi Pancasila merupakan sebuah kedaulatan rakyat yang sesuai dengan Pembukaan UUD NRI 1945 dan hal ini telah dijabarkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan ‘kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’. Stahl dalam Ridwan (2003) juga mengungkapkan dalam perkembangan negara hukum (termasuk Indonesia), salah satu unsur rechtstaat-nya adalah segala sesuatu didasarkan atas kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat ini nantilah yang akan menimbulkan konsekuensi di sebuah negara.

Seperti halnya yang diungkapkan Abraham Lincoln bahwa ‘demokrasi adalah kekuasaan rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’, konsekuensi dari asas kedaulatan rakyat sesuai sila keempat salah satunya adalah rakyat harus ditempatkan sebagai subjek demokrasi. Rakyat sebagai subjek demokrasi mempunyai arti bahwa rakyat secara keseluruhan berhak untuk ikut berpartisipasi secara aktif untuk menentukan keinginan-keinginannya sekaligus sebagai aktualitator dari keinginan-keinginan mereka sendiri tersebut.
Baru-baru ini ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto telah resmi me-launching aplikasi penggalangan dana di akun sosial media Telegram. Penyaluran donasi dapat dilakukan dengan mengakses @GalangPerjuangan_bot di aplikasi Telegram. Setelah itu, akan muncul informasi terkait penggunaan aplikasi dan nomor rekening donasi.
Donasi ini terbuka untuk masyarakat kalangan apapun yang ingin berpartisipasi menyelematkan demokrasi bangsa Indonesia.

Penggalangan dana tersebut sudah sesuai dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 325 ayat 2 yang menyatakan dana kampanye sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat diperoleh dari : a. Pasangan Calon yang bersangkutan; b. Partai Politik dan/atau Gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan calon; dan c. Sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain. Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No.2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik menyebutkan bahwa sumber dana berasal dari iuran anggota partai politik, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan dari APBD/APBD. Pada pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 2/2011 Tentang Partai Politik juga telah disebutkan jika orang perseorangan bisa memberikan sumbangan paling banyak Rp. 1 miliar dalam satu tahun anggaran. Sementara, perusahaan atau badan usaha bisa memberikan sumbangan maksimal hingga Rp. 7,5 miliar dalam satu tahun anggaran. Ketentuan soal sumbangan dana kampanye yang salah satunya galang dana perjuangan Partai Gerindra ini juga diatur dalam PKPU Nomor 5 tahun 2017 tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Wali kota dan Wakil Walikota. Hal itu terdapat pada pasal 4 ayat 1 yang menyatakan dana kampanye pasangan calon dari partai politik atau gabungan partai politik bersumber dari: a. pasangan calon; b. partai politik atau gabungan partai politik pengusul; dan/atau c.

Sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain. Pihak lain yang menurut hukum sah dan dapat memberikan dana kampanye terhadap pasangan calon dari partai politik atau gabungan partai politik terdiri dari : a. perseorangan b. kelompok; atau c. badan hukum swasta, dimana hal ini terdapat dalam Pasal 5 ayat 3 PKPU No. 5 tahun 2017 tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Wali kota dan Wakil Walikota. Sehingga, penggalangan ‘dana perjuangan’ yang dilakukan oleh Prabowo dan Partai Gerindra tidak sama sekali bertentangan dengan aturan yang berlaku di Indonesia. Gerakan penggalangan dana secara terbuka perlu didukung sebagai sebuah kebudayaan politik yang baru dalam menggalang dana politik. Dalam gerakan ini, terdapat prinsip keterbukaan, prinsip kejujuran, prinsip keselarasan, dimana dalam ‘gerakan’ pihak mana pun dapat mengaksesnya, sehingga tidak ada unsur sembunyi-sembunyi dalam penggalangan dana yang di inisiasi oleh Prabowo Subianto.

Biaya politik di Indonesia yang sangat mahal merupakan salah satu faktor munculnya crowdfunding ini. Data Litbang Kementerian Dalam Negeri atas pendanaan pilkada serentak pada tahun 2015 menunjukkan, biaya yang dikeluarkan pasangan calon untuk pilkada tingkat kota/kabupaten bisa mencapai Rp 30 miliar. Sementara biaya politik yang dikeluarkan pasangan calon untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur berkisar Rp 20 miliar-Rp 100 miliar. Kita dapat mengambil contoh penggunaan biaya politik pada pilkada DKI Jakarta 2017 misalnya, dimana dilansir dari merdeka.com pasangan Ahok-Djarot memakan biaya Rp 31,7 miliar, sedangkan pasangan Anies-Sandi mengeluarkan biaya Rp 17,9 miliar. Biaya politik yang mahal inilah yang dikhawatirkan menyebabkan banyak calon kepala daerah dan politisi lainnya gagal memenangkan kontestasi karena minim modal padahal mereka memiliki kapasitas sebagai pemimpin politik untuk berkiprah di eksekutif dan legislatif baik di daerah maupun di pusat.

Inisiasi crowdfunding tersebut bukan berarti menunjukan bahwa partai berlambang kepala garuda ini ‘tidak siap’ dalam menghadapi kontestasi Pemilu 2019. Bisa saja crowdfunding tersebut bagian dari upaya pendidikan politik yang dilakukan Partai Gerindra kepada masyarakat. Tidak seperti selama ini, penggalangan dana politik terkesan dilakukan sembunyi-sembunyi dan atas dasar transaksional. Terlebih adanya money politic yang masih terkesan massif dan terstruktur di Indonesia. Praktik kotor tersebut sudah menjadi rahasia umum. Data dari Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) menyebutkan bahwa ada 600 laporan terkait money politic pada Pilkada tahun 2017, yang terjadi sejak masa kampanye hingga pemilihan. Ini merupakan sebuah peningkatan yang negatif, dikarenakan pada 2015 tercatat ada 493 laporan tentang politik uang. Bangsa ini harus sampai pada taraf ‘benar-benar berhasil’ membangun sebuah etika dan moralitas politik baru khususnya bagi para elit dan tokoh politik yang sesuai tuntunan esensi demokrasi Pancasila, yang salah satu caranya adalah menghindra eksistensi money politic.

Penggalangan dana politik secara transparan seperti ini sebaiknya diterapkan agar tidak menimbulkan pretensi negatif dari masyarakat. Secara logika, sebuah gerakan politik yang scope-nya luas (nasional), tidak mungkin didanai memakai ‘kantong’ sendiri. Sehingga cara melibatkan publik merupakan suatu keniscayaan atas dasar kesamaan visi dan misi politik serta bentuk aktualisasi bahwasannya masyarakat benar-benar menjalankan haknya sebagai subjek demokrasi. Demokrasi sendiri mengandung dua unsur pokok yaitu kebebasan dan kesetaraan. Dalam konteks kali ini, rakyat sebagai subjek demokrasi mempunyai kebebasan dalam menentukan apapun, termasuk menentukan dan mengaktualisasikan hak politisnya maupun hal-hal yang berkaitan dengan dinamika politik di Indonesia. Dalam menjalankan unsur ‘kebebasan’ inilah masyarakat yang mempunyai satu visi dan misi dengan Partai Gerindra dan Prabowo, dapat ikut berpartisipasi dalam galang dana perjuangan ini. Sadar atau tidak, penggalangan dana secara massal dari masyarakat atau crowdfunding ini sebenarnya juga merupakan entitas dari nilai-nilai yang terkandung dalam butir-butir pancasila. Kita dapat melihat butir pertama pada sila kelima yang menyatakan “mengembangkan perbuatan luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegontong-royong” telah teraktualisasikan dari wujud crowfunding.

Esensi rasa kekeluargaan dan kegontong-royongan dalam konteks ini tercermin dari ‘partisipasi masyarakat dalam jumlah yang tidak sedikit (masyarakat yang mendukung Gerindra dan Prabowo) yang telah secara material mendukung perjuangan politik yang didukungnya secara bersama-sama dan bantu-membantu demi membiayai calon-calon pemimpin yang didukungnya. Mereka ‘bekerja’ bersama-sama mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk memberikan donasi dari harta yang telah disisihkan, baik itu harta senilai sebungkus rokok atau dua bungkus mie instant. Perjuangan mereka tidak akan sia-sia jika seluruh pihak bergerak bersama dan saling bergandengan tangan untuk menuju kemenangan Hal ini selaras dengan salah satu prinsip demokrasi yang dikemukakan oleh Almadudi adalah Penghargaan terhadap nilai-nilai demokrasi. Prinsip ini menghendaki agar kehidupan negara senantiasa diwarnai oleh toleransi, kemanfaatan, kerja sama dan konsesus. Kata ‘kerja sama’ inilah yang dalam konteks crowfunding berarti semua loyalis Gerindra dan Prabowo bersedia untuk menyumbangkan kemampuan terbaiknya dalam mewujudkan keinginan bersama, baik kemampuan materiil ataupun formiil.

Dikatakan oleh Przeworkski (1991) konsolidasi demokrasi idealnya terjadi ketika konflik yang terjadi pada front yang pertama telah berhasil membangun kelembagaan demokrasi sebagai satu-satunya landasan atau arena bagi konflik politik yang terjadi pada front yang kedua, ketika tidak ada satu aktor politik pun yang memiliki kesempatan untuk bertindak di luar institusi-institusi demokrasi, dan ketika satu-satunya tindakan yang akan diambil oleh semua kekuatan yang menderita kekalahan di dalam kompetisi politik adalah menyiapkan diri untuk memperoleh kemenangan di dalam putaran persaingan politik yang akan datang. Wajar jika Partai Gerindra dan Prabowo berambisi untuk memenangkan kontestasi Pemilu 2019. Pihak petahana pun juga demikian, tetap akan berambisi untuk ‘melanjutkan’ kepada periode selanjutnya. Setiap pejuang politik harus mempunyai ambisi, ambisi yang mengarah kepada kebaikan. Jika tidak ada ambisi, maka tidak akan ada dinamika, tidak akan ada perubahan yang menuju arah kedepan, sehingga dikhawatirkan jika tidak ada ambisi maka dinamika politik di Indonesia hanya akan berada dalam politik dinasti, yang hanya berkutat pada satu golongan. Maka dari itulah, Sudah saatnya demokrasi yang ada di Indonesia diselamatkan dari model penggalangan dana model patgulipat. Asas keterbakuaan harus segera dilakukan dan diterapkan dalam konteks ini. Sehingga semuanya harus dilakukan di atas meja agar tidak lagi ada prinsip ‘sembunyi-sembunyi’ yang dilakukan. Dengan penggalangan dana ini, siapapun dapat memberikan andil dalam mewujudkan demokrasi yang bebas dari pembajakan kelompok tertentu. Kelompok tertentu disini yang dimaksudkan adalah kelompok yang menjadi pelaku money politic di lingkungan masyarakat. Donator dalam penggalangan dana yang dilakukan oleh Partai Gerindra ini juga atas dasar sukarel.

Di sisi lain, banyak aral yang harus dilalui oleh bangsa kita ini untuk menuju demokrasi yang benar-benar yang sesungguhnya. Bahwa, ternyata tidak mudah untuk mewujudkan demokrasi secara jujur, jernih dan bertanggung jawab, baik pada tingkat alam pikiran maupun lebih-lebih sebagai politik yang tersistem. Hal itu terbukti eksistensi money politic yang massif masih terdapat di Indonesia. Berangkat dari situlah, masing-masing pribadi masyarakat Indonesia hendaknya melakukan perubahan, dimulai dari perubahan yang kecil seperti menolak politik uang, karena dari perubahan kecil itulah diharapkan lama-kelamaan akan menimbulkan perubahan besar yang positif, yaitu terciptanya demokrasi yang jujur, jernih, dan bertanggung jawab.

OPINI :
Fradhana Putra Disantara
Mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Negeri Surabaya angkatan 2017