JEPARA – Sebagai salah satu tradisi di Jepara yang telah berlangsung hampir 140 tahun, Jembul Tulaan harus dipahami eksistensi dan makna filosofinya. Even tahunan yang menggambarkan laku tapa Ratu Kalinyamat ini tidak boleh hanya dimaknai sebagai sebuah kemeriahan yang tanpa makna. Hal tersebut diiungkapkan oleh Ketua Yayasan Kartini Indonesia, Hadi Priyanto, saat menyampaikan materi dalam acara jagong budaya yang berlangsung di desa Tulaan, Kecamatan Donorojo, Kamis ( 12/7 ).

Pemateri lain adalah Soebekti Sahlan, penulis buku babad desa-desa di kecamatan Donorojo dan budayawan Iskak Wijaya. Sedangkan pemandu dialog, budayawan Jepara, Bilung Sarjono yang mengantarkan dialog dengan penampilan wayang kontemporer, dengan iringan kerawitan Putu Langgar.

Acara yang berlangsung di halaman SDN 2 Tulaan ini, disamping diikuti oleh seniman dan masyarakat desa Tulaan, Bandung Harjo, dan Blingoh dihadiri juga oleh seniman dan kreator seni Jepara antara lain Didit Endro, Robby Sani, Tigor Sitegar, Kang Munif, Oky Setyawan, Didin Ardiansyah, Kustam Eka Jalu dan pengiat seni tradisi, Ki Gendro Suryo Kartiko.

Acara ini diselenggarakan oleh komunitas Pemuda Guyub Rukun desaTulaan. Tujuannya untuk mencari format pengembangan tradisi Jembul Tulaan hingga bukan saja dapat menarik perhatian masyarakat, tetapi juga dipahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. “Dengan demikian generasi muda dapat belajar dari tradisi ini “ ujar ketua panitia, Achmad Choirun Nasir. Tradisi Jembul Tulaan akan dilakukan hari Senin pekan depan.

Dalam paparannya, Soebekti Sahlan mengungkapkan, Jembul Tulaan adalah sebuah tradisi yang bermula dari penggambaran sumpah Ratu Kalinyamat. “Bukan karena dendam, tetapi dari keinginannya untuk memohon keadilan Tuhan atas tewasnya suami dan kakaknya,” ujar Soebekti.

Tradisi ini juga dimaksudkan untuk memberikan penghormatan kepada Ki Barata, Demang Tulaan yang berkuasa hingga tahun 1882. Beliau seorang demang yang berhasil mengembangkan kademangan Alas Tuwo yang kemudian berubah menjadi kademangan Tulaan.

Menurut Soebekti Sahlan, jumlah jembul sebanyak 4 pasang, yang terdiri dari jembul laki-laki dan perempuan ini menggambarkan kesetiaan dan penghormatan dari masyarakat di empat padukuhan yang ada di kademangan Tulaan kala itu kepada Ki Demang Barata. “Juga ada makna pengormatan kepada perempuan, sikap pemimpin sebagai pelayan serta memohon pada Alllah agar padukuhan dijauhkan dari segala marabahaya,” ujar Soebekti.

Sementara Iskak Wijaya, mengusulkan agar Jembul Tulaan dapat berkembang sebagai kekuatan absolud tradisi desa Tulaan, tetapi juga mampu meniingkatan kesejahteraann masyarakat, maka harus dicari format pengembangan kedepan. “Mengemas Jembul Tulaan dalam bentuk festival yang dilakukan dengan kaidah-kaidah festival secara benar, bisa jadi sebuah langkah yang kongkrit. Kuncinya pelibatan masyarakat setempat.” ujar Iskak Wijaya.

Karena itu, harus dikomunikasikan kepada para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah kabupaten Jepara. (Rai)