JAKARTA – Peneliti Lembaga Kajian Hukum dan Demokrasi (LKHD), Rivaldi Mandala Satria SH., menilai sistem ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (Presidential Threshold) sebesar 20% kursi parlemen atau 25% suara pemilu mengebiri fungsi partai politik.

Rivaldi menjelaskan, Partai Politik dibentuk untuk kaderisasi kepemimpinan dan sebagai sarana partisipasi politik bagi warga negara.

“Presidential threshold mengancam fungsi parpol, berdasarkan Pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 2008, sebagai sarana partisipasi politik warga negara Indonesia; dan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender,” jelas dia kepada wartawan di Jakarta.

Ia mengatakan, Partai Politik memiliki fungsi yang strategis dalam pembangunan negara.

“Untuk menyokong fungsi tersebut, Partai Politik memerlukan independensi dalam menentukan sikap politiknya. Namun, independensi itulah yang coba dikebiri oleh sistem Presidential Treshold yang mewajibkan pencalonan presiden minimal 20 % suara kursi DPR atau 25% suara sah nasional,” ujar dia.

Ia menambahkan, fungsi partai politik sebagai wadah kaderisasi untuk menghasilkan alternative pemimpin bangsa justru terhambat oleh sistem ini.

Tidak hanya itu, menurut dia, Presidential Threshold justeru menumbuhkan politik transaksional dalam sistem perpolitikan Indonesia.

“Partai-partai kecil yang memiliki kader terbaik kalah tertindas oleh Partai-partai besar yang memiliki suara lebih banyak, ini justru mencederai demokrasi,” ungkap dia.

“Partai sulit menentukan sikap politik dalam mengusung kader terbaiknya. partai-partai kecil ini wajib mengekor pada partai-partai yang memiliki suara lebih besar, sehingga partai ini terbelenggu dalam menentukan nasibnya sendiri atau mendorong calon alternatif yang memiliki kompetensi,” sambung dia.

Ia menuturkan, dalam situasi ini terciptalah politik keterpaksaan yaitu pilihan politik yang didasari atas keterpaksaan karena hampir tidak ada pilihan lain bagi mereka selain mengikuti arus politik utama.

“Ini jelas mencederai demokrasi. Apa jaminannya Partai Besar memiliki kader yang lebih baik daripada Partai Kecil? Tidak ada,” tegasnya.

Ia menyampaikan, tidak hanya parpol yang terdampak dari sistem ini, masyarakat pun akhirnya tidak punya banyak pilihan dalam menentukan pemimpinnya.

‘Pertanyaannya, apa benar hanya Jokowi dan Prabowo saja putra terbaik bangsa ini? Ataukah itu hanya buah dari monopoli politik akibat dari Presidential Treshold? Jika memang itu hanya buah dari monopoli politik, artinya sesungguhnya system politik kita bagai system politik korporasi dimana pemilik modal terbesarlah yang dapat menentukan arah kebijakan politik bangsa,” tutupnya. (Tim/Red)