JAKARTA – Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) DR. Anang Iskandar SIK,. SH,. MH,. menyebutkan bahwa sebaiknya hukuman kepada penyalahguna narkoba atau pengguna sebaiknya diberikan hukuman rehabilitasi untuk diobati rasa candu hingga tidak menggunakan narkoba lagi.

“Hal ini sesuai dengan peraturan perundangan yang sudah ditetapkan di Indonesia,” ujarnya, kepada awak media Indonesiaparlemen.com, Sabtu (11/8/2018) Kemaren.

Dalam amar putusan hakim menyatakan terdakwa penyalah guna (pengguna bukan bandar) terbukti secara sah dan menyakinkan melakukaan tindak pidana penyalahguna narkotika untuk diri sendiri diberikan sangsi minimal 4 tahun penjara.

“Seharusnya demi hukum penjatuhan sangsinya berupa sangsi rehabilitasi bukan sangsi penjara,” jelas purnawirawan tinggi Polri ini.

Karena selama ini, tambahnya. penjatuhan sangsi penjara berdampak nyata pada kelebihan kapasitas dilapas, sedangkan dampak lain adalah korban penyalahguna narkoba (pengguna) yang sudah kecanduan tidak nyatanya berupa tidak sembuh tetap kecanduan, yang justru menghasilkan generasi sakit adiksi (kecanduan) yang berkepanjangan.

“Maka hal tersebut merupakan sasaran empuk bagi para pengedar, akibatnya negara (penegak hukum) kewalahan dalam menghadapi permasalahan narkotika, ibarat hilang satu tumbuh seribu dan dampaknya kemana mana,” terang Anang Iskandar.

Dalam kajiannya sebagai Dosen Hukum, menurut Anang Iskandar, bahwa terhadap UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika, dimana UU narkotika ini mengatur kontruksi dekriminalisasi penyalah guna.

Artinya kepemilikan dan penggunakan narkotika dalam jumlah tertentu untuk pemakaian sehari, digunakan untuk kepentingan diri sendiri merupakan perbuatan melanggar hukum narkotika namun apabila perbuatan tersebut telah dilakukan maka upaya paksa dan penghukumannya berupa rehabilitasi.

“Hal itu diperkuat Surat Edaran Mahkamah Agung No. tahun 2010 tentang penempatan penyalahguna narkotika, korban penyalahgunaan narkotika dan pecandu ke dalam lembaga rehabilitasi,” terangnya.
Sejak itu penyalah guna dan pengedar secara teknis penegakan hukum dibedakan secara jelas, penyalahguna diproses secara hukum bersifat rehabilitatif, ditempat dilembaga rehabilitasi dan dihukum rehabilitasi (pasal 4), karena prinsip UU narkotika “hukuman” rehabilitasi sama dengan hukuman penjara (pasal 103/1). Sedangkan pengedar diperlakukan secara keras yaitu dipenjara, diperberat juga dengan tuntutan tindak pidana pencucuan uang serta diputus jaringan bisnis narkotikanya agar tidak berdaya.

Anang Iskandar menjelaskan, dalam UU No. 35/2009 jelas menyatakan bahwa perkara penyalahgunaan narkotika itu adalah perkara kombinasi antara perkara kesehatan dan perkara hukum, yang terintegrasi dalam suatu konsep dimana pelakunya dinyatakan sebagai kriminal tercantum dalam pasal 127 UU diancaman dengan ancaman pidana “ringan” maksimal 4 tahun, namun tujuan penegakan hukumnya dicegah, dilindungi dan diselamatkan serta dijamin rehabilitasinya agar sembuh atau pulih dari sakit kecanduannya (pasal 4 b dan d), sedangkan terhadap pengedar pelakunya diberantas (pasal 4c).

Konsep seperti tersebut diatas adalah konsep baru dalam sistem hukum di Indonesia yang kemudian dikenal dengan dekriminalisasi penyalah guna narkotika dimana pada prinsipnya, penyalah guna diproses secara kriminal. Penyidik, penuntut dan hakim menjamin penyalah guna direhabilitasi selama proses penyidikan, penuntutan dan peradilan dengan cara ditempatkan di lembaga rehabilitasi dan hakim berkewajiban menjatuhkan sangsi berupa hukuman rehabilitasi.

“Sayangnya dalam praktek tidak demikian, para hakim justru menjatuhkan sangsi penjara, artinya, sangsi yang menyakitkan alias memperparah penyakit adiksi narkotika (candu) yang diderita terdakwa yang seharusnya berhak untuk mendapatkan hak untuk sembuh melalui rehabilitasi, dan ini sesungguhnya melanggar hak asasi manusia,” ujarnya.

Anggota Komisi III DPR-RI, Adies Kadir beberapa bulan lalu, usai meninjau lembaga pemasyarakatan menyebut bahwa hampir 60 sampai 70 persen penghuni di seluruh lapas yang ada adalah napi kasus narkoba.
Dilain sisi, Sri Puguh Budi Utami, Sekretaris Dirjen Pemasyarakatan menyebut bahwa jumlah narapidana di lapas mencapai 242.903 orang per bulan Mei 2018, diprediksi akan selalu bertambah.

Ia mengungkapkan kenaikan jumlah narapidana tersebut berefek membengkaknya dana yang perlu dianggarkan pemerintah untuk biaya makan para warga binaan itu. Untuk makan seluruh napi di Indonesia selama 12 bulan atau satu tahun sebesar Rp 1,3 triliun uang negara yang dikeluarkan secara rutin. (Rochman)