JAKARTA – Biaya politik di negeri ini sungguh berat. Mau maju di Pilkada aturan yang berlaku bahwa pasangan calon (Paslon) harus didukung oleh minimal 20% jumlah kursi partai atau gabungan partai.

Paslon yang mau maju Pilkada untuk mendapatkan dukungan partai atau gabungan partai itu tentu harus berkorban semisal materi yang tentu tak kecil atau komitmen lain yang tidak harus bentuk uang.

Ada paslon yang melakukan strategi memborong kursi partai, ini tentu akan melakukan pengorbanan yang jauh lebih besar lagi.

“Masyarakat kita yang jadi pemilih memahami kondisi ini dan sayangnya banyak merespon pragmatis supaya mereka juga dapat sesuatu dari paslon dengan sikap, ‘masa hanya partai yang dapatan, kami juga dong,’ ditambah lagi narasi bahwa pesta ini hanya 1x 5 tahun,” terang Nikson Silalahi, ST, M.IKom selaku Sekjen Pimpinan Pusat Gerakan Kristiani Indonesia Raya (PP GEKIRA) dan KDP Yayasan Nikson Silalahi Parongil.

Di Pileg juga sama berat. Lanjutnya. Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4% dengan 14 partai nasional yang ikut pemilu 2019 akan membuat partai-partai berjuang keras.

“Upaya keras dengan tujuan mencapai ambang batas ini kerap menjadikan caleg yang diusung bukan lagi melalui kaderisasi yang baik; banyak contoh yang kita lihat bahwa kader partai itu sendiri tidak ikut dalam daftar caleg ataupun kalau ikut tapi di nomor buntut, tergantikan oleh nama-nama baru yang baru muncul karena punya sumber daya yang lebih prospek ke partai,” ucapnya.

Fenomena lain rekrutmen daftar caleg sekarang juga sudah seperti transfer pemain bola, ada partai yang merekrut legislator yang lagi menjabat dari partai lain menjadi calegnya untuk maju di 2019.

Jangan lupakan juga banyaknya kader partai tertentu yang pada loncat ke partai lain dan ganti kartu tanda anggota (KTA). Semua ini menunjukkan adanya gangguan besar terhadap lahirnya pemimpin di eksekutif dan wakil rakyat di legislatif yang betul-betul berkualitas dan berideologi yang loyal. Pejuang politik dan bukan sekedar politikus.

“Tanpa kita sadari dalam 73 tahun usia NKRI, demokrasi kita rasanya mengalami kondisi sakit. Para pemimpin dan wakil rakyat semakin banyak yang salah arah karena terbeban pengorbanan dalam upaya terpilih,” ungkapnya.

Rakyat kita juga semakin banyak pesimis dan pada akhirnya bersikap pragmatis, money politic semakin merajalela. Tidak mudah mengubah keadaan ini, tetapi kita harus mulai untuk perbaiki kembali. Pemilu 2019 khususnya pemilihan Presiden/Wapres adalah momen yang tepat untuk mengawali perobahan.

Pemerintahan yang sekarang rasanya kurang mampu memberikan jawaban atas kesulitan-kesulitan yang dihadapi bangsa semisal kemampuan menghadapi kesulitan ekonomi; harga-harga kebutuhan pokok masyarakat yang kurang terkendali, nilai rupiah yangg semakin merosot terhadap dolar juga menambah kesulitan tersendiri.

Janji penciptaan 10 juta lapangan kerja baru juga jauh dari harapan bahkan banyak mensinyalir justru lebih memperhatikan tenaga kerja asing (TKA), penegakan hukum juga kurang memuaskan; lihat kasus Novel Baswedan yang sampai sekarang tak tuntas. Tak nyaman rasanya menuliskan begitu banyak ketidakpuasan terhadap janji-janji kampanye dulu yang tidak terealisasi.

Pileg dan Pilpres 2019 adalah harapan baru untuk lahirnya mayoritas legislator dan utamanya Presiden/Wapres yang mau mewakafkan dirinya untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara.

Kita butuh Presiden dan Wakil Presiden baru yang mau dan mampu memimpin negara ini menghadapi tantangan ke depan yang semakin besar. Tantangan dari aspek ekonomi, tantangan terhadap keutuhan NKRI, tantangan terhadap intoleransi yang akhir-akhir ini makin tajam.

Cerita perpecahan negara-negara seperti Uni Soviet, Cekoslowakia, Sudan, dan lain-lain adalah pelajaran penting betapa kita butuh pemimpin yang tegas dan sigap dalam mengayomi seluruh anak bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang yang berbeda.

“Dirgahayu 73 Tahun Negeriku, tetaplah jaya, tetaplah satu dalam Indonesia Raya. Tetaplah utuh dalam NKRI yang ber-Bhinneka Tunggal Ika,” pungkasnya. (Tim/Red)