JAKARTA – Kinerja industri manufaktur nasional diyakini semakin bergairah seiring keberpihakan pemerintah yang terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan pro-bisnis. Capaian positif itu misalnya terlihat dari data indeks manajer pembelian (purchasing manager index/PMI) Indonesia pada Agustus 2018 yang meroket hingga level 51,9 atau naik dibanding perolehan bulan Juli di angka 50,5.

“PMI naik adalah bagian dari investasi di capital goods (barang modal) yang meningkat, dan tentunya juga akan memberikan hasil produktivitas yang optimal sehingga dapat memacu daya saing industri manufaktur,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Bidang Perdagangan, Benny Soetrisno di Jakarta, Minggu (16/9).

Sebagai pengusaha, Benny percaya program dan kebijakan yang dilakukan pemerintah saat ini sudah dalam jalur yang tepat. Apabila langkah itu diikuti pemerintah daerah tingkat I dan II, hasilnya akan maksimal. “Sangat penting untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi terciptanya aktivitas industrialisasi,” ujarnya.

Menurutnya, semua upaya strategis yang dilakukan pemerintah bertujuan menciptakan ekonomi yang kompetitif dan memberikan kemampuan pengusaha untuk lebih banyak membuka lapangan pekerjaan. Apalagi dengan adanya Making Indonesia 4.0 sebagai strategi dan peta jalan yang jelas untuk siap memasuki revolusi industri generasi keempat.

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menyampaikan, PMI Indonesia mampu naik pada Agustus 2018 sejalan dengan kinerja di sektor industri makanan dan minuman yang mengalami peningkatan. “Setelah sempat ada perlambatan karena hari libur panjang Lebaran, tetapi memang mulai terlihat menggeliat lagi di Agustus,” terangnya.

Kementerian Perindustrian mencatat, pada triwulan II tahun 2018, pertumbuhan industri makanan dan minuman mencapai 8,67 persen atau melampaui pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,27 persen. Bahkan, sektor industri makanan dan minuman mampu memberikan kontribusi tertinggi terhadap PDB industri pengolahan nonmigas hingga 35,87 persen.

“PMI kita yang meningkat di Agustus 2018 bisa menjadi indikasi permintaan meningkat di bulan-bulan berikutnya,” ungkap Adhi. Sepanjang tahun ini, Gapmmi memproyeksi industri makanan dan minuman bisa tumbuh di atas 10 persen atau lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang sebesar 9,23 persen.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menjelaskan, PMI Indonesia yang naik menjadi momentum baik bagi pelaku industri untuk terus berekspansi. “Artinya, kita melihat bahwa industri manufaktur kita sedang bergeliat,” tegasnya.

Data PMI yang dirilis oleh Nikkei merupakan ukuran kinerja sektor manufaktur yang berasal dari hasil survei sebanyak 400 perusahaan. Adapun lima indikator indeks yang menjadi bobot penilaian, yaitu pesanan baru, hasil produksi, jumlah tenaga kerja, waktu pengiriman dari pemasokbahan baku, dan stok barang yang dibeli.

Ekonom IHS Markit, Aashna Dodhia memaparkan, pertumbuhan yang cukup signifikan pada PMI Indonesia bulan Agustus 2018 menunjukkan permintaan dalam negeri yang berada dalam laju paling tinggi sejak Juli 2014. PMI di atas 50 menandakan manufaktur tengah ekspansif.

“Jadi, mengindikasikan bahwa kesehatan sektor ini telah meningkat dalam kondisi yang paling baik dalam dua tahun terakhir. Kondisi ini didorong permintaan yang terkuat sejak Juli 2014 dan terlihat juga peningkatan serapan tenaga kerja,” tuturnya.

Terlebih lagi, upaya pemerintah melakukan penyesuaian tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 terhadap 1.147 barang konsumsi impor, dapat bertujuan untuk menjaga pertumbuhan industri dalam negeri, peningkatan penggunaan produk lokal, dan perbaikan neraca perdagangan. Regulasi ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 110 tahun 2018 tentang Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang lain. (Glen)