JAKARTA – Pemerintah terus mendorong para pelaku usaha khususnya sektor manufaktur di dalam negeri agar aktif menjalankan program hilirisasi industri. Upaya strategis ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap produk impor sekaligus sebagai langkah mengurangi defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan.

“Hilirisasi dan industrialisasi benar-benar digenjot dan digalakkan. Utamanya sektor hasil-hasil tambang, sehingga kita tidak perlu lagi kirim (ekspor) bahan baku mentah. Ini harus dihentikan. Jadi, kita harus berani beralih, dengan mengirim barang dalam bentuk setengah jadi atau jadi,” kata Presiden Joko Widodo pada acara CEO Forum di Jakarta, Selasa (27/11).

Menurut Presiden, saat ini sudah ada berbagai teknologi guna mempermudah pelaksanaan program peningkatan nilai tambah bahan baku dalam negeri tersebut. Contohnya untuk mengolah komoditas batu bara. “Sekarang ada teknologi untuk batu bara yang kelas rendah maupun kelas menengah, bisa dijadikan gas, bisa dijadikan minyak. Karena teknologi baru telah berkembang,” tuturnya.

Hal senada juga disampaikan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, aktivitas industrialisasi konsisten membawa efek berantai yang positif bagi perekonomian nasional. Selain peningkatan nilai tambah, juga memacu pada penyerapan tenaga kerja dan penerimaan negara dari ekspor. “Tidak ada satu negara maju di dunia yang tanpa melalui proses industrialisasi,” tegasnya.

Menperin menyebutkan data United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Indonesia menempati peringkat ke-4 dunia dari 15 negara yang kontribusi industri manufakturnya terhadap produk domestik bruto (PDB) di atas 10 persen. “Kita sering mendengar deindustrialisasi itu karena kontribusi ke PDB harus di atas 30 persen. Kalau kita melihat data UNIDO, ekonomi negara di dunia yang di atas 30 persen itu tidak ada,” ungkapnya.

Berdasarkan laporan UNIDO, di negara industri, rata-rata sektor manufakturnya menyetor ke PDB hanya mencapai 17 persen. Sementara Indonesia mampu menyumbang hingga 22 persen, di bawah Korea Selatan (29%), China (27%), dan Jerman (23%). Namun, Indonesia melampaui perolehan Meksiko (19%) dan Jepang (19%). Sedangkan, negara-negara dengan kontribusi sektor industrinya di bawah rata-rata 17 persen, antara lain India, Italia, Spanyol, Amerika Srikat, Rusia, Brasil, Perancis, Kanada dan Inggris.

UNIDO juga mengemukakan, Indonesia termasuk dari 4 negara Asia yang memiliki nilai tambah sektor manufakturnya tertinggi di dunia. “Jadi, kita bersama China, Jepang, dan India,” imbuh Airlangga. Nilai tambah industri nasional meningkat hingga USD34 miliar, dari tahun 2014 yang mencapai USD202,82 miliar dan saat ini menjadi USD236,69 miliar.

Menperin menjelaskan, dalam upaya menggenjot industrialisasi, pihaknya memfasilitasi pembangunan kawasan industri terutama di luar Jawa. Langkah ini juga mendorong terwujudnya Indonesia sentris, yakni pemerataan pembangunan dan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia.

“Seperti kawasan industri di Sei Mangkei, saat ini sudah ada industrinya dan akan dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan industri hilir berbasis aluminium. Kemudian, kawasan industri di Dumai untuk hilirisasi CPO, serta di Morowali yang sekarang telah mampu memproduksi stainless steel dan produk turunannya,” paparnya.

Airlangga menambahkan, di tengah era revolusi industri 4.0, Indonesia sudah siap memasuki melalui implementasi peta jalan Making Indonesia. Ini sebagai strategi dan arah yang jelas dalam meningkatkan daya saing industri nasional di kancah global. Aspirasi besarnya adalah menjadikan Indonesia masuk dalam 10 negara yang memiliki perekonomian terkuat di dunia pada tahun 2030.

“Target itu bisa tercapai, dengan didorong peningkatan produktivitas dua kali dan anggaran untuk riset sebesar dua persen,” ujarnya. Untuk itu, guna mendongkrak daya saing, Kementerian Perindustrian juga mendukung penerapan kebijakan substitusi impor dan pendalaman struktur industri.

Bahkan, Menperin memastikan, perkembangan era digital saat ini membuka peluang bagi industri kecil dan menengah (IKM). Misalnya, keberadaan e-commerce tidak akan menggeser pasar tradisional, justru keduanya saling melengkapi. “Menurut saya, terjadi new opportunity. Antara online dan offline saling mengisi, bukan membunuh,” ucapnya.

Airlangga mencontohkan, seorang pedagang lemper di Bogor mampu meningkatkan pendapatan setelahmengembangkan bisnisnya ke pasar digital. “Seorang ibu di Bogor, jualan lemper biasanya 100 per hariyang dibuat sendiri. Namun, dengan terus promosi di sosmed, dia saat ini mampu membuat 1000lemper sehari. Kami melihat, rata-rata IKM yang berjualan di e-commerce, pendapatannya bisa mencapaiRp50 juta setahun,” sebutnya. (Glen)