JAKARTA – Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar sangat menyayangkan sikap Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta yang diduga melakukan intimidasi terhadap pemberitaan di sejumlah media. Hal tersebut mengomentari beredarnya surat Kejati DKI Jakarta yang meminta 10 media mencabut pemberitaan soal Kajati DKI Warih Sadono yang dituding melakukan pembohongan publik dengan pernyataannya pada sebuah media cetak ternama telah bertemu jaksa senior Chuck Suryosumpeno di Rutan Salemba cabang Kejagung.

“Saya rasa, surat Kasipenkum Kejati DKI yang beredar tersebut sudah intimidatif dan mengganggu kinerja jurnalistik. Jelas mencoreng nama Presiden Joko Widodo yang notabene sebagai tokoh nasional yang menjaga kebebasan pers di Indonesia,” kata pria yang juga pengacara Chuck Suryosumpeno tersebut di Jakarta, Selasa 12 Maret 2019.

Mirisnya, kata Haris, Kejati DKI meminta sejumlah media tersebut untuk meminta maaf terhadap pemberitaan yang menurutnya merupakan kritik positif untuk kejaksaan, bayangkan posisi dia sebagai Chuck yang harus mendekam ditahanan atas perbuatan yang tidak pernah dilakukan lalu sekonyong konyong ada artikel yang memuat pernyataan Warih pernah menemuinya di tahanan, bukankah seperti mengajak berkelahi orang yang sedang diikat tangan serta kakinya? “Menurut saya, Warih lah yang seharusnya minta maaf pada Chuck tapi Pak Chuck kemarin bilang kalau dia sudah memaafkan rekannya yang hanya berani ngomong di media itu, lalu sebenarnya siapa disini yang lebih layak menjadi pemimpin ?”

Terkait Kajati DKI Warih Sadono yang mengaku tidak pernah membuat pernyataan ke media mana pun, pegiat HAM ini menyatakan justru berani mengomentari lantaran memiliki bukti adanya artikel pada kolom “Dewa Dewi Keadilan” yang dimuat pada sebuah media cetak ternama tanggal 21 Februari 2019.

“Bukti pernyataan Kajati DKI yang dikutip dengan kalimat langsung menunjukkan bahwa adanya wawancara. Surat Kasipenkum yang ditujukan pada beberapa media yang memuat komentar saya justru makin menelanjangi nama Kajati DKI, sebagai pimpinannya. Karena bisa dianggap tidak pernah membaca Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pasal 4 ayat (1) yang menyebutkan bahwa kebebasan pers dijamin sebagai hak azasi warga negara!,” tegasnya .

Tak hanya itu, Haris tergelitik melihat tembusan surat ke beberapa instansi seperti Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Ketua DPR dan Komisi III DPR RI. “Bukankah ini namanya melakukan penggiringan opini negatif terhadap Chuck, kasusnya saja belum diputus di Pengadilan Negeri. Lalu apa maksudnya memberikan tembusan surat ini pada Kepala Pengadilan Tinggi? Miris sekali, seharusnya para jaksa ini diberikan kesempatan untuk belajar membuat hak jawab yang baik dan benar, bukan serampangan,” ucap Haris.

Haris pun mengaku selama menjadi aktivis, belum pernah melihat dan membaca hak jawab yang dibuat Kasipenkum Kejati DKI seperti itu. Surat hak jawab model pengancaman seperti ini pun, kata dia, bahkan tak pernah ada di jaman orde baru. “Jika surat itu benar dikeluarkan oleh Kejati DKI, maka saya sebagai masyarakat Indonesia, bakal melaporkan hal ini ke Dewan Pers,” ujarnya. (Tim)