INDONESIAPARLEMEN.COM, JAKARTA – Upaya pembentukan holding dan subholding Pertamina dan rencana menjual (IPO) subholdingnya ke bursa saham, mulai menuai beragam respon dari berbagai pihak. Kebijakan pemerintah yang dimotori Menteri BUMN (Erick Thohir) ini menciptakan kontroversi, tidak hanya dari internal Pertamina, namun juga penolakan dari sebagian publik.

Usaha pemecahan Pertamina menjadi subholding lalu menjualnya telah menciptakan konflik. Tidak hanya penolakan dari pihak eksternal Pertamina, namun juga dari internal Pertamina.

Beberapa Serikat Pekerja Pertamina melakukan Demonstrasi menolak rencana Menteri BUMN dan Dirut Pertamina tersebut. Diantaranya Serikat Pekerja Pertamina Unit Pemasaran III (SPPUpms III), Serikat Pekerja Pertamina EP, Serikat Pekerja Pelaut Pertamina, dll.

Perwakilan dari Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (SPPB) Marcellus Hakeng mengatakan, jika terjadi pertamina di jual, Marcellus menegaskan, Serikat Pertamina dengan tegas menolak. “Kami menolak,” tegasnya.

Ia mengatakan jika ini terus dibiarkan akan mengganggu jalannya roda perusahaan Pertamina. Harusnya aspirasi banyak Pekerja Pertamina tersebut direspon positif oleh Menteri BUMN dan Dirut Pertamina dengan membatalkan rencana mereka.

Dari Analisa terhadap ke empat aspek tersebut, upaya Pemecahan Pertamina menjadi Subholding – subholding lalu menjualnya lewat IPO patut diduga telah melanggar amanat konstitusi.

Merespon IPO Subholding Pertamina, Politikus sekaligus pengamat pertambangan, Marwan Batubara mengungkap keuangan PLN dan Pertamina yang jatuh diduga akibat politik pencitraan Joko Widodo dalam rangka pilpres 2019 salah satunya melalui kebijakan agar BUMN menanggung dana subsidi.

“Jadi Jokowi itu, supaya terlihat baik di mata publik, maka dia membuat pencitraan supaya BUMN ini menanggung dana subsidi. Kalau memang mau menanggung BBM ini tidak naik ya silahkan saja, tetapi harus ada anggaran di APBN seperti di zaman Pak SBY itu berlangsung,” kata Marwan Batubara saat diskusi publik dan webinar yang digelar oleh Lembaga Kajian Strategis Nusantara, Sabtu (15/8/20).

Membandingkan dengan era SBY, Marwan mengatakan, di era Jokowi, pemerintah sudah tertolong dengan harga minyak dunia yang rendah, rata rata berkisar di bawah 40 dolar perbarel jika dibandingkan dengan era SBY di tahun 2009-2104 yang rata rata 93 dolar perbarel.

Marwan menegaskan, supaya BBM tidak memberatkan masyarakat, maka harus dianggarkan (untuk Subsidi) di APBN.

“Nah, pak Jokowi tidak melakukan itu. Justru dia memaksa BUMN untuk menanggung subsidi itu padahal harga minyak dunia pun sudah turun waktu itu, karena itu, terpaksa keuangan pertamina bermasalah,” kata Marwan.

Menurutnya, BUMN yang mestinya menikmati turunnya harga minyak dunia, namun yang terjadi, masyarakat harus membayar lebih mahal dan tidak sesuai dengan formula yang dibuat oleh pemerintah sendiri.

“Saya tidak mengada-ngada, harga minyak di era pemerintah saat itu tinggi, atau di atas 60 dolar perbarel, selalu mengacu kepada formula yang diterapkan, apakah itu 3 bulan, apakah 6 bulan dan berakhir setiap bulan februari, ada rujukannya yaitu kepmen SDM nomor 62,” lanjut Marwan.

Untuk itulah Marwan mengatakan, pihaknya telah mensomasi (pemerintah). Marwan mengakui dirinya sendiri yang telah mengantar surat somasi ke Istana Negara, “Supaya harga diturunkan, bahwa konsumen dirugikan, untuk april mei juni kita membayar 17 triliun lebih mahal. Nah kenapa ini terjadi, karena untuk menolong pertamina. Dan kita tahu pertamina itu keuangannya berdarah-darah,” tandasnya.

Berbeda dengan Marwan Batubara, Fillsuf, akademisi, dan intelektual publik Indonesia Rocky Gerung mengatakan bahwa Subholding (Pertamina) itu hanya akal-akalan. Menurut Rocky pemerintah saat ini tidak bisa dipahami oleh DPR dan tidak bisa dipahami oleh pers nasional. Namun saat bisa hanya bisa dipahami oleh para influencer dan buzzer.

“Yang paham adalah influencer dan buzzer, karena mereka memang calo-calo perdagangan dari organ organ Pertamina,” kata Rocky Gerung.

Menyinggung soal Upaya pembentukan holding dan subholding Pertamina dan rencana menjual (IPO) subholdingnya ke bursa saham, Rocky justru bertanya apa artinya IPO?

“Mau tau nggak apa arti IPO? IPO adalah Idiot Publik Offering,” katanya, publik pun riuh dan tertawa.

“Karena yang akan di offering adalah keidiotan dan kedunguan,” tambahnya.

Menurutnya, tidak mungkin pertamina itu menghasilkan efisiensi hanya karena kebutuhan keuangan.

Rocky kemudian menyinggung soal etika bernegara, logikanya di dalam bisnis etik itu, etika utilitarian yang dalilnya berbunyi, “kemaslahatan terbesar bila bagian terbesar dari masyarakat sudah menerima kemakmuran”. Nah kalau itu yang dipakai, bagian terbesar itu ada di pulau jawa dan itu yang diincar oleh investor. Padahal BUMN itu tugasnya bukan sekedar wefare (Kesejahteraan), tapi Justice, (Keadilan),” terangnya.

Dan justice, menurut Rocky atinya bukan memberikan kesejehtaeraan pada bagian yang terbanyak dari bangsa ini, tapi mencari bagian yang tertinggal. Mendatangi mereka yang tersisih itu. Itulah tugas BUMN,” tandasnya.

Rocky menegaskan, etik inilah yang tidak dipahami oleh petinggi-petinggi BUMN junto petinggi-petinggi, jadi dari awal, presiden tidak mengerti bahwa BUMN itu harus menghasilkan justice bukan sekedar walfare, “Jadi saya ingatkan kembali bahwa yang terjadi sekaranh adalah ketidak mampuan presiden untuk melihat perspektif keadilan dan itu berlaku di semua lini,” tandasnya.

Merespon holding dan subholding pertamina, pengamat ekonomi politik, Ichsanuddin Noorsy mengkritik ketas kebijakan tersebut. Menurut dia kalau berbentuk holding sebenarnya itu untuk memperbesar penetrasi korporasi terhadap pasar.

Noorsy mengaku saat ini tengah ribut dengan Kementerian BUMN sebab menurut Noorsy, logika Holding yang dipakai oleh Kementeeian BUMN adalah logika korporat kapitalism, semakin besar perusahaan, semakin besar melakukan penetrasi pasar.

“Tapi logika ini sesungguhnya logika untuk komersial good, bukan pabrik good.Nah itu ketika kita menggagas kebutuhan holding, itu terjadi pada komersial good di BUMN. Misalnya, ketika pertamina itu punya jasa, silahkan bergabung dengan perusahaan-perusshaan yang namanya property,” kata Noorsy.

Menurutnya, ketika holding dihadapkan pada logika pabrik good, logika ini sesungguhnya logika yang menjungkirbalikan posisi dari pabrik good menjadi posisi komersial good atau sebaliknya.

“Disini kesalahan awal,” kata Noorsy.

“Ketika yang namanya BUMN digeser menjadi holding, maka logikanya menjadi, sesungguhnya mereka menggeser hajat hidup orang banyak menjadi komersial good atau barang barang komersial,” kata Noorsy.

Nah inilah yang mestinya ditangkap oleh pemerintah atau ditangkap oleh orang banyak bahwa ada model berpikir yanh disimpangkan, model berpikir yang dimanipulasi. Nah ketika kita sampai pada pemikiran yanh dimanipulasi itu yanh sudah ada sejak zaman 80-an yang dikuatkan di zaman SBY sampai sekarang.

“Maka sesungguhnya ketika holdingnya bermasalah, maka SK 198 bulan Juni 2020 harusnya kita batalkan. Jadi kerja awal kita harusnya membatalkan SK 198. Jadi serikat pekerja di Pertamina tugas awalnya adalah bagaimana kita bersama sama membatalkan SK itu. Itu tugas awalnya karena konstruksinya holding,” kata Noorsy.

Yang kedua IPO, menurut Noorsy IPO adalah dalam rangka mengkomersialkan pabrik good. Noorsy mencontohkan, dirinya pernah menolak ketika krakatau steel, anak perusahaannya diambil alih oleh posito, Noorsy bahkan menyinggung soal PLN.L dimana dirinya merupakan saksi ahli saat menggugat UU ketenagalistrikan dari awal sampai dengan yang terakhir, itu sampai akhirnya serikat pekerjanya itu dibantai oleh direksi PLN.

Atas pernyataannya itu, Noorsy siap bertanggungjawab, “Saya ulang, itu sampai serikat pekerjanya itu dibantai secara preman oleh direksinya. Maka mereka mulus melakukan yang namanya pemeretelan. Konsep yang mulus di PLN ini hendak dipindahkan ke pertamina, maka keluarlah kebijakan SK 198 bulan Juni 2020,” kata Noorsy.

“Tetapi kemeren di bulan Juli, saya terkejut membaca berita pada tanggal 22 juli 2020 kemaren, Erick Thohir mengatakan mudah-mudahan dalam posisi Indoensia maju di tahun 2045 tidak ada lagi perusahaan plat merah,” kata Noorsy.

“Apa artinya? Artinya seorang Erick Thohir…. Hai Erick Thohir, Ichsanuddin Noorsy sedang bicara, Saya tantang anda bicara, bahwa anda sesungguhnya tidak mengerti sumpah jabatan yang anda ambil. Anda menyalahi sumpah jabatan!” tegas Noorsy.

“Anda tidak berjuang memerdekakan bangsa ini Erick Thohir. Anda tidak berjuang dengan darah dan keringat dan biaya. Anda harus bayangkan banyak orang yang berjuang dengan harkat dan martabat, malah anda kemudian melakukan dengan apa yang disebut dengan asas kemanfaatan,” kata Noorsy.

Noorsy kemudian mengingatkan agar serikat Pekerja Pertamina dapat mengambil pelajaran dari apa yang terjadi dengan serikat pekerja PLN, termasuk yanh disingkirkan ke pulau pulau terpencil. “Anda harus siap menghadapi kenyataan seperti itu,” kata Noorsy.

“Kalau anda tidak mau melihat anak anak BUMN ini dicacah, maka serikat Pekerja pertamina harus menegaskan tidak bisa dicacah oleh kekuatan yang sama,” tandas Ichsanuddin Noorsy. (Bambang)