KOTA TANGERANG, INDONESIAPARLEMEN.COM – Warga korban gusuran rumah rumah di TPA Rawa Kucing, masih menanti kejelasan status bangunan atas  gusuran oleh pihak Dinas Lungkungan Hidup/LH yang hingga kini tak pernah dibeberkan kejelasan ganti rugi oleh Pemerintah Kota Tangerang.

Pasalnya bangunan yang didiami warga TPA Rawa Kucing, dibongkar paksa oleh pihak Dinas Lingkungan Hidup/LH, beberapa bulan lalu, dan kini menuai persoalan baru, seperti diketahui warga mendiami area tersebut sejak tahun 2005,  awalnya adalah tanah milik seseorang, dan dijual kepada warga dengan bukti bukti yang kuat.

Dimana saat ini perwakilan warga korban gusuran dari Intansi Dinas Lingkungkungan Hidup yang berdekatan dengan TPA Rawa Kucing, adalah Nursaid alias Jaro, mengatakan, warga merasa bingung karena status kepemilikan bukan milik pemerintah namun saat ini sudah diratakan untuk  perluasan lahan TPA Rawa Kucing.

Apalagi Badan Pertanahan Negara (BPN) Kota Tangerang, sebelumnya beberapa tahun lalu telah menyatakan bahwa lahan gusuran yang berada dalam lahan TPA itu bukan milik pemerintah.

“Ya sampai sekarang kan belum ada kejelasan dari pemerintah dan warga menilai persoalan ini masih abu-abu tapi kenapa kok sudah berani mereka meratakan tempat tinggal kami untuk lahan TPA, bahkan lahan itu sekarang sudah dioperasikan,” ujar Jaro, mengatakan kepada Awak Media, Jumat (18/09/2020).

Warga menduga bahwa perluasan lahan TPA tersebut bernuansa tidak transparan, Pasalnya rumah yang didiami warga sejak tahun 2005, tidak pernah adanya pemberitahuan dari Dinas LH kepada mereka akan ada pembongkaran rumahnya tersebut, sehinga mereka kaget ketika rumah yang ditempatinya di obrak abrik oleh Dinas lingkungan Hidup Kota Tangerang.

Kini warga yang digusur pun sudah tinggal secara berpencar-pencar. Ada yang pulang ke kampung hingga menumpang di rumah saudara.

“Sebelumnya warga hanya mengetahui bahwa wilayahnya hanya untuk pembuatan pagar dan perbaikan, tetapi kenyataannya bukan pagar saja, melainkan pembongkaran rumah kami, dan kini warga hanya minta keadilan dari pihak Pemda Kota Tangerang, yang telah meratakan rumah kami ini.” tuturnya.

Meski demikian, upaya warga untuk mendapat kejelasan status lahan itu tak pernah berhenti. Mereka telah mengajukan laporan ke Pengadilan Kota Tangerang untuk dimintai keadilan.

Warga berharap agar Pemerintah Kota Tangerang bisa memerintahkan instansi terkait dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup, setidaknya untuk memberi ganti rugi atau uang kerohiman atas penggusuran yang terjadi.

“Harapan kami pemerintah Kota Tangerang, agar bersifat adil dan bijak untuk warga yang tergusur dalam masalah TPA ini, agar kedepan tidak semena mena dalam melakukan giat apapun, bahwa kami ini warga yang tergusur ini diberikan  konvensasi untuk rumah kami yang digusur,” ucap Jaro lagi.

Sementara Kuasa Hukum warga, Juinson Sitanggang SH. mengatakan, bahwa eksekusi yang dilakukan oleh Pemkot Tangerang dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup, tentang masalah perluasan lahan TPA Rawa Kucing, dinilai telah menyalahi aturan dan tidak dibenarkan, pasalnya eksekusi yang dilakukan oleh LH ini lebih mengarah kepada suatu kepentingan semata dibanding kemanusiaan.

“Klien kami ini sudah cukup lama menempati diarea yang dianggap milik lahan Dinas Lingkungan Hidup/LH, dan mereka merobohkan tanpa ada kesepatan bersama, memang bangunan ini milik mereka, dan selama belum ada kesepatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, tentunya mereka tidak berhak semena mena merobohkan bangunan begitu saja,” ucap Juinson kepada awak media. Jumat (18/09/2020)

Lanjutnya, bahwa warga menempati area lahan yang dianggap milik lahan LH itu sejak tahun 2005, sementara lahan tersebut baru dibebaskan oleh LH pada tahun 2009, tentunya pihak LH sudah mengetahui keberadaan bangunan warga tersebut sejak lama.

“Sepanjang belum ada kesepakatan dengan warga sebagai pemilik rumah yang dirobohkan oleh pihak LH, saya menilai itu adalah suatu kesalahan, karena ia menilai pembongkaran itu bernuansa pemaksaan, kenapa tidak dari dulu saja dibongkar bangunan bangunan yang ada di Area tersebut, kenapa baru sekarag,” katanya lagi.

Hal berbeda dengan Ata, penanggung jawab area wilayah tersebut, secara notabene sebagai koordinator, ia telah banyak menarik retribusi beberapa bangunan yang ada dalam area setiap bulannya. mengatakan bahwa ia sendiri ketika adanya pembongkaran bangunan rumah yang dilakukan pihak LH, pihaknya sama sekali tidak mengetahui dan tidak ada koordinasi kepadanya.

” betul saya memungut retribusi bangunan yang ada dalam area tersebut sebesar Rp.50 ribu/perbulan, dimana pungutan ini juga sudah diketahui oleh pihak ketua RT, dan iapun mengakui hilangnya beberapa makam yang ada didalam  area tersebut sejak berdirinya bangunan bangunan tersebut,” papar Ata.

Masih kata Ata, sejak berdirinya bangunan tersebut, ada 37 makam keturunan yang hilang keberadaannya, dimana ia sendiri pernah dipertanyakan oleh pihak ahli waris makam tersebut tentang hilangnya makam keluarga tersebut. (Rls)