Foto: Ilustrasi

JAKARTA – PT Krakatau Steel (Persero) Tbk tengah jadi sorotan. Menteri BUMN Erick Thohir menyebut ada proyek triliunan rupiah di BUMN baja itu terindikasi korupsi.

Dikutip dari Kompas.com, proyek yang dimaksud Erick Thohir yakni pembangunan pabrik baja sistem tanur tinggi atau blast furnace. Proyek tersebut masih belum juga selesai meski sudah menghabiskan anggaran sekitar Rp 12,16 triliun.

Beban dari proyek blast furnace berkontribusi cukup besar pada beban utang beserta bunga yang harus ditanggung PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Polemik blast furnace perusahaan negara yang berpusat di Cilegon Banten itu sebenarnya sudah mengemuka sejak lama.

Pabrik yang proyek pembangunannya dimulai dari 2012 itu, mulanya ditargetkan beroperasi di 2015, tetapi pada akhirnya dinyatakan gagal di akhir 2019 lalu.

Akibatnya, proyek ini membuat utang menumpuk hingga mencapai 2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 31 triliun.

“Krakatau Steel sedang restrukturisasi, sudah berjalan tahap 1 dan tahap 2, tapi yang masalah blast furnace harus ditindaklanjut. Kalau memang ada indikasi korupsi ya harus diselesaikan,” kata Erick seperti dikutip pada Minggu (3/10/2021).

“Ini kan hal-hal yang tidak bagus, pasti ada indikasi korupsi, dan kita akan kejar siapapun yang merugikan, karena ini kembali bukannya kita ingin menyalahkan, tetapi penegakan hukum kepada bisnis proses yang salah harus kita perbaiki,” tambah dia.

Mega proyek tersebut sudah terkatung-katung sejak beberapa tahun. Bukannya menghasilkan untung, perusahaan dengan kode emiten KRAS itu malah buntung.

Erick Thohir melanjutkan, karena masalah tersebut, mitra investor yang sebelumnya ikut patungan menggarap proyek blast furnace pun akhirnya mundur.

“Karena jangan nanti mau berpartner, baru ribut ini korupsi. Akhirnya partner-nya, yang tadinya sudah semangat , berhenti. Apalagi baja kan lagi naik industrinya, dan ada harapan blast furnace ini bisa diperbaiki karena bajanya lagi naik,” lanjut dia.

Erick ingin para direksi dan komisaris pada masa sebelumnya bisa bertanggungjawab dengan kepemimpinan mereka terdahulu, sehingga direksi dan komisaris saat ini bisa terlepas dari beban masa lalu tersebut.

“Ini supaya komisaris, direksi yang sekarang baru, hasil restrukturisasi ini sudah semangat kerjanya, yang tadinya rugi, jadi untung. Mereka juga mesti terlepas, bahwa ini kan kasus lama. Jangan mereka sedang melakukan kegiatan ini, akhirnya menjadi bagian yang tadi bilang misal pembiaran,” ucap dia.

Proyek tersebut sebenarnya sempat diprotes oleh salah satu Komisaris Independen KRAS, Roy Edison, pada pertengahan tahun 2019 lalu. Ia bahkan sampai mengajukan pengunduran diri karena tak tahan dan pandangannya sudah tak sejalan dengan direksi.

Menurut Roy Edison kala itu, harga pokok produksi (HPP) dari proyek blast furnace jauh lebih mahal ketimbang harga pasaran.

Ibarat maju kena mundur kena, dengan perhitungan HPP, perusahaan dipastikan bakal merugi apabila proyek diberhentikan, namun juga sebaliknya perusahaan juga diperkirakan akan semakin merugi apabila blast furnace tetap dilanjutkan.

Kerugian semakin membengkak karena jadwal operasi blast furnace molor dari target awal.

Dikutip dari Tribunnews, 23 Juli 2019, alasan dirinya mundur karena ada yang salah dengan pengelolaan perusahaan. Dia mengatakan bahwa perusahaan itu memiliki utang, bahkan saat dirinya baru bergabung.

“Karena saat saya masuk Krakatau Steel, utangnya sudah 3 miliar dollar AS dan kerugiannya sudah (mencapai) Rp 4,2 triliun,” kata Roy saat itu.

Pada akhirnya, ia pun memantapkan diri untuk mengajukan surat pengunduran dirinya kepada Kementerian BUMN yakni pada 11 Juli 2019.

Surat tersebut ditujukan tidak hanya kepada Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno, namun juga kepada Menteri BUMN Rini Soemarno.

Menurutnya, proyek tersebut telah mengalami keterlambatan selama 72 bulan sejak pengoperasiannya saat dirinya mengajukan pengunduran diri.

“Proyeknya juga sudah terlambat 72 bulan,”.kata dia.

Ia bahkan menyebutkan hal lainnya yang dianggap layak untuk dipertimbangkan oleh Kementerian BUMN, karena dapat merugikan negara.

“Proyek ini awalnya tidak sampai Rp 7 triliun dan sekarang over run menjadi kurang lebih Rp 10 triliun, over run budget-nya terlampaui Rp 3 triliun, saya pikir ini bukan angka yang kecil, ini besar,” pungkas Roy.