Masjid Wal Adhuna di Muara Baru, Jakarta Utara yang mulai tenggelam karena permukaan air laut naik/Dok: IP

JAKARTA – Ibu kota negara dan daerah di Pantura Jabar, rawan tenggelam. Menurut Profesor Riset bidang Meteorologi Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eddy Hermawan, penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut, mempercepat tenggelamnya sejumlah titik di Jakarta dan Pantura Jawa.

“Kenaikan muka air laut bergabung menjadi satu dengan penurunan muka tanah akan memberikan dampak yang lebih serius. Jika hanya kenaikan air muka laut saja atau hanya penurunan muka tanah saja maka dampak yang dihasilkannya tidaklah sedahsyat bila keduanya terjadi secara simultan atau bersamaan,” kata Eddy dalam Webinar Nasional Prof Talk: Benarkah Jakarta dan Pantura Akan Tenggelam? di Jakarta, Dikutip dari Republika.co.id, Rabu (6/1/2021).

Eddy menuturkan, proyeksi terendamnya beberapa lokasi di Jakarta dan beberapa kota pesisir di sepanjang Pantura, terjadi akibat tiga faktor utama. yakni, perubahan iklim yang mengarah pada kenaikan muka air laut, laju penurunan muka tanah (land subsidence), dan kondisi lokal setempat.

Menurut dia, jika hanya melihat masing-masing faktor berdiri sendiri. Yakni naiknya permukaan laut sekitar 3-10 mm per tahun atau penurunan muka tanah berkisar 6-100 mm per tahun, maka tidak akan memberikan dampak separah yang dikhawatirkan bahwa Jakarta tenggelam.

Namun, bila dua faktor itu bergabung menjadi satu dan berlangsung bersamaan dan terus menerus maka akan memberikan dampak yang sangat serius kepada kawasan-kawasan kota yang letaknya di kawasan pesisir atau di pantai karena terancam terendam atau tenggelam.

“Jika proyeksi hanya difokuskan pada akibat perubahan iklim semata, maka dampak yang dihasilkannya tidaklah terlalu berat. Hal serupa juga ditemukan, jika proyeksi difokuskan hanya ke land subsidence semata, maka analisisnya tidak bisa digunakan untuk skala global/regional,” ujarnya.

Eddy menuturkan, proyeksi difokuskan ke hasil analisis gabungan antara dampak perubahan iklim global dan laju penurunan muka tanah yang cukup pesat saat ini. “Dua proyeksi inilah yang diduga kuat akan mempercepat tenggelamnya kota-kota pesisir di Pantura, termasuk Jakarta di masa mendatang,” tuturnya.

Eddy mengatakan, hasil analisis data satelit terkini menunjukkan, bahwa kawasan pesisir Pantura mengalami penurunan muka tanah paling tajam. Kondisi geologi daerah pesisir dengan tanah yang lembut secara alamiah membuat tanah terus turun.

Tetapi, dengan adanya kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim, penggunaan air tanah, serta didirikannya gedung-gedung megah dan mewah di sepanjang Pantura ternyata semakin memperparah turunnya permukaan tanah. Oleh karena itu, Eddy menuturkan, perlu adanya pemantauan terhadap penurunan tanah dan laju perubahan garis pantai akibat perubahan ketinggian air laut.

Kondisi tersebut ternyata berbeda dengan kawasan selatan Jawa yang struktur geologinya cenderung berbukit. Eddy mengatakan, ke depannya perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan yang lebih nyata.

Pembuatan Tanggul Raksasa sepertinya belum cukup, namun harus diimbangi dengan kebijakan penggunaan air tanah, penanaman mangrove, dan pencegahan perusakan lingkungan yang harus segera dilakukan. “Akan lebih efektif, jika upaya ini dilaksanakan oleh berbagai elemen masyarakat, tanpa pengecualian,” pungkasnya.