Yusril Ihza Mahendra. Dok: Ist

JAKARTA – Pengacara kondang, Yusril Ihza Mahendra pasrah setelah permohonan Judicial Review (JR) yang diajukan pihaknya ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). Adapun, gugatan yang dimohonkan tersebut terkait Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat di bawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Yusril menyatakan bahwa tugasnya sebagai pengacara empat kader Partai Demokrat sudah selesai setelah adanya putusan MA tersebut. Ia mengaku tidak bisa berbuat banyak. Menurut Yusril, tidak ada upaya hukum lanjutan yang dapat dilakukan setelah permohonan judicial review di MA ditolak.

“Tidak ada upaya hukum lanjutan yang dapat dilakukan setelah ada putusan JR oleh MA. Tugas saya sebagai lawyer sudah selesai sesuai ketentuan UU Advokat,” kata Yusril melalui pesan singkatnya, Rabu (10/11/2021).

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) tersebut enggan mencampuradukkan masalah politik dengan hukum setelah adanya putusan MA. Sebab, menurutnya, saat ini ia hanya menjalankan tugasnya sebagai Advokat. Ia pun menegaskan enggan ikut campur masalah politik yang timbul setelah adanya keputusan MA.

Meski begitu, Yusril mengaku tidak sependapat dengan putusan majelis hakim. Salah satunya, pendapat majelis hakim MA yang menyatakan bahwa AD/ART partai bukanlah peraturan perundang-undangan yang berlaku umum. Di mana, menurut putusan MA, AD ART hanya mengikat kepada anggota partai.

“AD dan ART tidak sepenuhnya hanya mengikat ke dalam, tetapi ke luar juga. AD parpol mengatur syarat menjadi anggota partai. Syarat menjadi anggota itu mengikat setiap orang yang belum ingin menjadi anggota parpol tersebut,” beber Yusril

“Parpol memang bukan lembaga negara, tetapi perannya sangat menentukan dalam negara seperti mencalonkan presiden dan ikut pemilu,” sambungnya.

Lebih lanjut, menurut Yusril, UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga jelas mengatakan bahwa UU dapat mendelegasikan pengaturan lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.

“Nah ketika UU mendelegasikan pengaturan lebih lanjut kepada AD/ART partai, maka apa status AD/ART tersebut? Kalau demikian pemahaman MA, berarti adalah suatu kesalahan apabila UU mendelegasikan pengaturan lebih lanjut kepada AD/ART,” ucapnya.

Yusril menilai pertimbangan hukum MA dalam memeriksa perkara ini sangat elementer. Ia berpendapat bahwa keputusan tersebut masih jauh untuk dikatakan masuk ke area filsafat hukum dan teori ilmu hukum untuk memahami pembentukan norma hukum secara mendalam.

Karena itu, Yusril mengaku memahami mengapa MA sampai pada keputusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima tanpa memandang perlu untuk memeriksa seluruh argumen yang dikemukakan dalam permohonan. Ia pun menghormati putusan tersebut.

“Walaupun secara akademik putusan MA tersebut dapat diperdebatkan, namun sebagai sebuah putusan lembaga peradilan tertinggi, putusan itu final dan mengikat,” tutur Yusril.

“Pertimbangan hukum MA terlalu sumir dalam memutus persoalan yang sebenarnya rumit berkaitan dengan penerapan asas-asas demokrasi dalam kehidupan partai. Tetapi itulah putusannya dan apapun putusannya, putusan itu tetap harus kita hormati,” pungkasnya.