Buruh berencana akan menggelar aksinya lagi untuk menagih THR

JAKARTA – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Andi Ghani Nena Wea, tak kuasa menahan tangis pascaputusan Omnibus law dari Mahkamah Konstitusi (MK).

Nampak dia beberapa kali mengusap air mata di wajahnya.

“Hari ini saya tidak bisa menahan air mata saya. Perjuangan panjang kita bisa buktikan dengan kebenaran luar biasa. Semua resiko kita ambil,” katanya, Kamis (25/11/2021).

Andi melanjutkan akan kembali menggelar perlawanan dengan massa buruh bila pemerintah main-main dengan buruh Indonesia.

Rencananya, KSPSI akan mengadakan unjuk rasa di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat pada (30/11/2021) besok.

Sementara itu, MK menyatakan menolak gugatan Omnibus Law UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Omnibus Law itu perlu dilakukan perbaikan.

Bila dalam jangka waktu 2 tahun tidak direvisi, maka Omnibus Law dinyatakan Inkonstitusional secara permanen.

Dalam aksinya, massa buruh menolak formula penetapan upah minimum dengan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea mengatakan, ada tiga tuntutan dalam aksi buruh tersebut.

Pertama, KSPSI sebagai konfederasi buruh di Indonesia menolak formula penetapan upah minimum dengan menggunakan PP Nomor 36 Tahun 2021.

Menurutnya, beleid tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Dengan begitu, belum tepat jika penetapan upah menggunakan aturan turunannya.

Kedua, KSPSI meminta MK mengumumkan keputusan formil uji materi UU Cipta Kerja bisa berlaku adil.

“Kenaikan upah minimum ini sangat tidak adil,” tegas Andi Gani.

Permintaan itu bertepatan dengan pelaksanaan sidang pembacaan putusan gugatan uji materi Undang-Undang Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi.

Ketiga, ia juga meminta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian merevisi atau bahkan mencabut instruksi Mendagri ke kepala daerah dalam rangka penetapan upah minimum.

“Kami berharap hakim MK bisa berlaku seadil-adilnya. Karena, saya yakin MK merupakan benteng keadilan terakhir yang bisa memutuskan secara adil dan selalu ada untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia,” katanya.

Bila dalam jangka waktu 2 tahun tidak direvisi, maka Omnibus Law dinyatakan Inkonstitusional secara permanen.

Dalam aksinya, massa buruh menolak formula penetapan upah minimum dengan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea mengatakan, ada tiga tuntutan dalam aksi buruh tersebut.

Pertama, KSPSI sebagai konfederasi buruh di Indonesia menolak formula penetapan upah minimum dengan menggunakan PP Nomor 36 Tahun 2021.

Menurutnya, beleid tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Dengan begitu, belum tepat jika penetapan upah menggunakan aturan turunannya.

Kedua, KSPSI meminta MK mengumumkan keputusan formil uji materi UU Cipta Kerja bisa berlaku adil.

“Kenaikan upah minimum ini sangat tidak adil,” tegas Andi Gani.

Permintaan itu bertepatan dengan pelaksanaan sidang pembacaan putusan gugatan uji materi Undang-Undang Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi.

Ketiga, ia juga meminta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian merevisi atau bahkan mencabut instruksi Mendagri ke kepala daerah dalam rangka penetapan upah minimum.

“Kami berharap hakim MK bisa berlaku seadil-adilnya. Karena, saya yakin MK merupakan benteng keadilan terakhir yang bisa memutuskan secara adil dan selalu ada untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia,” katanya.