JAKARTA, INDONESIA PARLEMEN – Tim ilmuwan mengungkapkan penelitian bagaimana sinar Matahari (ultraviolet-C) dapat membunuh Covid-19 dengan adanya perbedaan antara teori terbaru dan hasil eksperimental.
Penelitian itu telah diunggah dalam jurnal yang dipublikasikan di The Journal of Infectious Diseases.
Insinyur mekanik UC Santa Barbara Paolo Luzzatto-Fegiz dan rekannya melihat ada kelemahan virus SARS-CoV-2 yang setara delapan kali lebih cepat. Hal itu diketahui dalam uji coba yang hasilnya lebih cepat dari pada teori yang telah diprediksi sebelumnya.
“Teori tersebut mengasumsikan bahwa inaktivasi bekerja dengan membuat UV-B mengenai RNA virus dan merusaknya,” tutur Luzzatto-Fegiz.
Dikutip Science Alert, perbedaan itu menunjukkan ada sesuatu yang lebih untuk mencari tahu apa hal yang dapat berguna untuk mengelola virus tersebut.
Sinar UV atau Spektrum Ultraviolet mudah diserap oleh basa asam nukleat tertentu dalam DNA dan RNA, yang dapat menyebabkannya terikat dengan cara yang sulit di untuk menyebar.
Sinar matahari ultraviolet terbagi jadi 3 tipe berdasarkan panjang gelombang, UVA, UVB dan UVC. Melansir BMKG, total sinar ultraviolet yang dikandung radiasi matahari saat sampai permukaan bumi adalah UV A (90-99 persen) dengan sedikit UV B.
Gelombang UV yang lebih panjang atau disebut UV-A tidak memiliki energi yang cukup untuk menimbulkan masalah pada kulit. Gelombang UV-B dengan jarak sedang di bawah sinar Matahari bertanggung jawab membunuh mikroba, tetapi menempatkan sel kulit pada risiko kerusakan akibat sinar matahari.
Sementara radiasi UV-C gelombang pendek telah terbukti efektif melawan virus seperti SARS-CoV-2, tetapi berbahaya bagi kesehatan kulit manusia. Di alam, jenis UV ini biasanya tidak bersentuhan dengan permukaan Bumi karena terserap oleh lapisan ozon. Makin tipis lapisan ozon suatu tempat, makin buruk saringan sinar ultraviolet di lokasi itu.
UV-C sangat bagus untuk rumah sakit. Tapi di lingkungan lain – misalnya, dapur atau kereta bawah tanah – UV-C akan berinteraksi dengan partikulat untuk menghasilkan ozon yang berbahaya” kata ahli toksikologi Oregon State University Julie McMurry.
Sebelumnya pada Juli 2020 sebuah studi eksperimental menguji efek dari sinar UV pada virus Corona di air liur yang disimulasikan. Peneliti mencatat virus Corona tidak aktif saat terkena sinar Matahari selama 10 hingga 20 menit.
Luzzatto-Feigiz dan tim membandingkan hasil tersebut dengan teori tentang bagaimana sinar Matahari mencapai titik tersebut.
Hasil studi menunjukkan virus Corona tiga kali lebih sensitif terhadap sinar UV di bawah sinar Matahari daripada influenza A, dengan 90 persen partikel virus Corona dinonaktifkan setelah hanya setengah jam terpapar sinar matahari tengah hari di musim panas.
Para peneliti menduga ada kemungkinan bahwa UV-A gelombang panjang dapat berinteraksi dengan molekul di media pengujian (air liur yang disimulasikan) dengan cara yang mempercepat inaktivasi virus.
Hal serupa terlihat dalam pengolahan air limbah di mana UV-A bereaksi dengan zat lain untuk membuat molekul yang dapat merusak virus.
Jika UV-A dapat dimanfaatkan untuk memerangi SARS-CoV-2, cahaya khusus gelombang panjang diprediksi dapat berguna dalam meningkatkan sistem penyaringan udara dengan risiko yang relatif rendah bagi kesehatan manusia.
“Analisis kami menunjukkan perlunya eksperimen tambahan untuk menguji secara terpisah efek panjang gelombang cahaya tertentu dan komposisi medium,” ujar Luzzatto.
Sumber: CNN
Tinggalkan Balasan