JAKARTA – Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, mengajukan permohonan Judicial Review (JR) kepada Mahkamah Agung. Ia meminta MA membatalkan larangan ekspor benih bening lobster.
Larangan ekspor itu tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 17 Tahun 2021. Aturan itu ditandatangani oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (Menteri KP) Sakti Wahyu Trenggono tanggal 24 Mei 2021.
Permohonan itu diajukan Yusril selaku kapasitasnya sebagai kuasa hukum dari PT Kreasi Bahari Mandiri dan beberapa nelayan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Yusril menyebut pembatalan itu dilakukan karena pada dasarnya Menteri Kelautan dan Perikanan tidak berwenang melarang ekspor barang dan jasa, meskipun itu benih lobster.
Ia menjelaskan bahwa Menteri KP memang berwenang melarang ekspor benih lobster yang dikategorikan sebagai ikan. Hal itu berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Akan tetapi, kemudian berlaku Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Melalui PP Nomor 29 Tahun 2021 yang merupakan turunan UU tersebut, Presiden Joko Widodo mendelegasikan kewenangan pelarangan itu kepada Menteri Perdagangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai jenis-jenis barang dan jasa yang boleh diekspor dan diimpor.
“Dengan aturan ini, jelaslah Menteri KP telah bertindak di luar kewenangannya membuat peraturan yang melarang ekspor benih lobster. Tindakan di luar kewenangan seperti itu menimbulkan ketidakpastian hukum,” kata Yusril melalui keterangan tertulisnya, Senin (18/10/2021).
Yusril menilai larangan ekspor benih lobster itu bertentangan dengan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam dan ekosistemnya serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan.
Menurut Advokat senior ini, Menteri KP seharusnya lebih dulu menyatakan bahwa lobster adalah binatang langka atau jenis binatang yang dilindungi sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Hal itu dilakukan atas pertimbangan lobster sebagai hewan langka yang dilindungi. Bila demikian, maka dapat dilakukan pelarangan ekspor terhadap komoditas tersebut.
“Namun kenyataannya dalam Peraturan Menteri KP sampai yang terakhir diterbitkan, yakni Permen KP Nomor 1 Tahun 2021 yang menyebutkan adanya 19 jenis ikan yang dilindungi, ternyata tidak memasukkan lobster sebagai binatang langka atau terancam punah yang dilindungi oleh negara. Jadi, jelas kiranya bahwa larangan ekspor benih lobster ini adalah aturan yang mengada-ada,” papar Yusril.
Menurut dia, para nelayan telah melakukan investasi dan mengurus izin penangkapan, penangkaran, hingga ekspor benih lobster dengan biaya tidak sedikit. Mereka juga telah melakukan perjanjian ekspor dengan mitra-dagang di luar negeri yang akhirnya gagal untuk dilaksanakan
“Segala jerih payah itu tiba-tiba dilarang tanpa adanya aturan peralihan untuk mengatasi kerugian pengusaha dan nelayan kecil,” ujar Yusril.
Ia pun menilai kebijakan Menteri KP terkait larangan ekspor benih lobster lebih mengedepankan soal pencitraan.
“Larangan ekspor benih lobster lebih banyak masalah pencitraan dan tindakan jor-joran Menteri KP sejak Susi Pudjiastuti sampai Sakti Wahyu Trenggono. Menteri Susi berdalih, benih lobster jangan diekspor tetapi lebih baik dibudidayakan di dalam negeri agar mempunyai nilai tambah. Namun kebijakan Pemerintah tentang budidaya lobster sampai sekarang tidak pernah jelas,” ucap Yusril.
Yusril mengutip data Komisi Pengkajian Stock Ikan (Kajiskan) Kementerian Kelautan dan Perikanan bahwa pada tahun 2021, jumlah benih lobster yang ada di alam bebas adalah 278,3 miliar ekor.
Ia mengatakan bahwa menurut perhitungan ahli, jika seluruh bibit itu digunakan seluruhnya untuk kepentingan budidaya, maka hasil lobster siap konsumsi di tahun 2021 dapat mencapai 92,76 juta ekor atau setara dengan 19.479 ton lobster.
Namun menurutnya, Kementerian KP justru hanya menargetkan hasil budidaya dalam negeri sebanyak 2.396 ton untuk tahun 2021. Padahal untuk menghasilkan jumlah 2.396 ton lobster konsumsi hanya diperlukan bibit benih lobster sebanyak 34.228.572.000 bibit atau hanya sekitar 15 persen dari bibit yang tersedia.
Sisanya sebanyak 244,039,717,000 ekor bibit atau sekitar 85 persen dapat dibiarkan hidup di alam bebas dan sebagian besar menjadi mangsa predator.
Yusril mengaku heran dengan kebijakan mubazir Menteri KP yang melarang ekspor benih lobster.
“Ekspor benih lobster punya nilai jual yang tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan devisa negara. Kalau mimpinya negara kita menjadi eksportir lobster terbesar di dunia, harusnya Pemerintah melarang ekspor secara bertahap sesuai kemampuan daya tampung budidaya dalam negeri,” ungkap Yusril.
Perihal benih lobster itu mulai jadi perhatian ketika Susi Pudjiastuti menjadi Menteri KP. Ia melarang tegas penangkapan benih lobster serta ekspor.
Saat kursi Menteri KP beralih ke Edhy Prabowo, aturan tersebut selanjutnya diganti dengan Permen KP 12 Tahun 2020. Tak cuma membuka keran benur buat ditangkap, Edhy juga membolehkan aktivitas ekspor. Politikus Gerindra itu ditangkap KPK karena menerima suap izin ekspor benih lobster.
Kursi yang ditinggalkan Edhy Prabowo kemudian dipercayakan kepada Sakti Wahyu Trenggono. Ia kembali memberlakukan larangan memperdagangkan benih lobster. Bedanya dengan aturan Susi, penangkapan benih bisa dilakukan hanya untuk kepentingan budidaya di dalam negeri.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan