Sejumlah pemuda gelar aksi protes ke BNI terkait pendanaan perusahaan batu bara. Dok: ist

JAKARTA – Studi dari lembaga Urgewald dan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), BNI tercatat saat ini masih memberi pinjaman ke perusahaan batu bara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020. BNI diduga mendanai proyek tidak ramah lingkungan hingga US$1,83 miliar, setara Rp27 triliun selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020.

Pakar Hukum Bisnis dari Universitas Airlangga Prof Budi Kagramanto mengatakan perbankan sepatutnya selektif dalam memberikan pendanaan atau pinjaman, apalagi kepada perusahaan industri tambang dengan segala potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

“Selektif yang dimaksud, adalah memperhatikan prinsip kehati-hatian atau prudential banking dalam UU Perbankan, yang kemudian memuat aspek 5C, yakni Character (Watak), Capacity (Kapasitas), Capital (Modal), Collateral (Agunan), dan Condition of Economy (Kondisi Perekonomian),” kata Prof Budi di Jakarta, Rabu (11/5/2022).

Dia berujar, sekalipun prinsip kehati-hatian dipenuhi, namun bank juga harus melihat dampak panjangnya.

“Makanya harus selektif, agar tidak bertabrakan dengan kebijakan pemerintah terkait lingkungan hidup,” ujar Prof Budi.

Dia melanjutkan, munculnya dugaan pemberian pinjaman dana tanpa agunan atau agunan yang tidak sepadan dengan pinjaman dari bank BUMN seperti BNI kepada perusahaan tambang batubara, Prof Budi melihatnya sebagai sebuah masalah besar.

“Jika ada pemberian pembiayaan tanpa agunan, terutama ke industri tambang, maka berpotensi melanggar hukum, khususnya UU Perbankan dan Tipikor, pada aspek-aspek 5C, khususnya Collateral (agunan), ” jelas dia.

Menurutnya, agunan adalah sebuah kewajiban, apalagi debiturnya merupakan perusahaan tambang dengan segala risiko kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

“Ya gak boleh begitu. Apalagi untuk pendanaan proyek besar di industri tambang. Tetap harus pakai agunan. Menurut saya tidak boleh, karena ini menyangkut kerusakan lingkungan hidup. Jangan sampai dana cair tanpa agunan disetujui begitu saja,” kata Prof Budi.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Prof Gde Pantja Astawa turut mengomentari dugaan pendanaan tanpa agunan dari bank-bank pelat merah ini, kepada sejumlah perusahaan tambang.

Menurutnya, bank BUMN seperti BNI tentu tidak lepas dari pemeriksaan yang dilakukan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), apalagi jika pembiayaannya berjalan selama bertahun-tahun. Jika benar ada dugaan pelanggaran dalam pendanaan perusahaan tambang ini, merujuk UU Perbankan, maka BPK pastinya akan menyampaikan laporannya kepada publik.

Enggak mungkin bisa lolos begitu saja. Ini akan jadi temuan, paling tidak dipertanyakan, kok bisa diloloskan begitu saja? Apalagi tanpa agunan, ini akan menimbulkan kecurigaan,” kata Prof Gde Pantja kepada media, Rabu (11/5/2022).

Kemudian ia juga menyorot kinerja OJK sebagai lembaga yang berwenang mengawasi sektor keuangan, termasuk perbankan. Jika ada temuan demikian, pastilah otoritas ini tidak akan tinggal diam, apalagi jika menyangkut prinsip prudential banking.

Dia menjelaskan, bahwa dalam operasional perusahaannya, bank selain mengacu pada UU Perbankan juga berpegang pada UU Perseroan Terbatas (PT). Pengelolaannya berdasarkan prinsip Business Judgement Rule. Dari hal itu, bank akan berhitung untuk rugi perusahaan, termasuk dalam pembiayaan tambang, meskipun yang harus diutamakan adalah prinsip prudential banking atau kehati-hatian.

Di juga mengingatkan kepada jajaran direksi bank, agar mempertimbangkan segala bentuk risiko dalam pembiayaan, terkhusus soal untung rugi.

“Harus hati-hati dan berpegang pada busines judgement rule, karena jika ada penyelewengan tanpa itikad baik, maka ancamannya pidana,” pungkas dia.**