JAKARTA – Ganja medis kembali menjadi perbincangan setelah seorang ibu yang meminta diperbolehkan penggunaan ganja medis untuk pengobatan anaknya yang mengidap lumpuh otak.
Wakil Ketua Komisi IX F-PDIP DPR RI Charles Honoris menilai Indonesia perlu memulai kajian terkait manfaat ganja bagi medis.
“Indonesia harus sudah memulai kajian tentang manfaat tanaman ganja (Cannabis sativa) untuk kepentingan medis. Kajian medis yang obyektif ini akan menjadi legitimasi ilmiah, apakah program ganja medis perlu dilakukan di Indonesia,” kata Charles Honoris kepada wartawan, Senin (27/6/2022).
Dia menyebut, pada akhir 2020 ganja dan resin ganja telah dikeluarkan dari Golongan IV Konvensi Tunggal tentang Narkotika. Jadi, menurutnya, ganja telah dihapus dari daftar narkoba.
“Pada akhir 2020, Komisi Narkotika PBB (CND) sudah mengeluarkan ganja dan resin ganja dari Golongan IV Konvensi Tunggal tentang Narkotika tahun 1961. Artinya, ganja sudah dihapus dari daftar narkoba paling berbahaya yang tidak memiliki manfaat medis. Sebaliknya, keputusan PBB ini menjadi pendorong banyak negara untuk mengkaji kembali kebijakan negaranya tentang penggunaan tanaman ganja bagi pengobatan medis,” jelas dia.
Charles menjelaskan, saat ini telah lebih dari 50 negara yang memiliki program ganja medis. Ia menilai riset saat ini perlu dilakukan meski belum diketahui akan ada atau tidaknya program ganja medis di Indonesia.
“Di seluruh dunia kini terdapat lebih dari 50 negara yang telah memiliki program ganja medis, termasuk negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Terlepas Indonesia akan melakukan program ganja medis atau tidak nantinya, riset adalah hal yang wajib dan sangat penting dilakukan untuk kemudian menjadi landasan bagi pengambilan kebijakan/penyusunan regulasi selanjutnya,” ucap dia.
Dia mengatakan riset itu semata untuk kepentingan kemanusiaan. Kajian ini dinilai penting untuk dunia kesehatan.
“Riset medis harus terus berkembang dan dinamis demi tujuan kemanusiaan. Demi menyelamatkan kehidupan Pika, dan anak penderita radang otak lain, yang diyakini sang ibunda bisa diobati dengan ganja. Negara tidak boleh tinggal berpangku tangan melihat ‘Pika-Pika’ lain yang menunggu pemenuhan hak atas kesehatannya,” tambah dia.
Tinggalkan Balasan