JAKARTA – Persidangan perkara “Jin Buang Anak” di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, memasuki babak penajaman perbedaan penerapan hukum antara pers dan narasumber, Kamis (4/8/2022). Jaksa Penuntut Umum menghadirkan ahli hukum pers, Nurlis Effendi.
Kasus tersebut bermula pada postingan dalam akun Youtube Bang Edy Channel yang memposting konten berupa pernyataan dari Edy Mulyadi, politisi yang juga seorang jurnalis, yang menyebut lokasi Ibu Kta Negara (IKN) di Kalimantan Timur sebagai tempat “jin buang anak”.
Ungkapan Edy tersebut membuat Suku Dayak mengantarkan Edy Mulyadi ke meja hijau di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Jaksa mendakwa Edy Mulyadi dengan pasal pidana tentang ujaran kebencian berdasarkan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), juga menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, serta menyiarkan berita yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan melalui media elektronik.
“Jadi Edy Mulyadi didakwa melanggar Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana dan Undang-Undang Informasi dan Transkasi Elektronik. Edy Mulyadi membela diri dengan menyebut pernyataannya itu sebagai bagian dari profesinya sebagai jurnalis,” kata JPU.
Itulah sebabnya, jaksa menghadirkan saksi ahli hukum pers untuk mengurai secara terang mengenai kegiatan jurnalistik dalam perspektif pers yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Sebetulnya, Undang-Undang Pers adalah pemandu utama bagi pers nasional. Syarat utamanya adalah pers wajib berbadan hukum Indonesia. Jadi sangat jelas bahwa Youtube tidak termasuk pers, melainkan media sosial yang tidak dapat diukur dengan hukum pers,” kata Nurlis yang juga sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Bandar Lampung.
Selain itu, lanjut Nurlis, Undang-Undang Pers juga hanya memberi perlindungan hukum bagi pers dan wartawan yang sedang menjalankan aktivitas jurnalistiknya.
Nurlis menjelaskan, bahwa aktivitas jurnalistik yang dimaksud oleh Undang-Undang Pers adalah kegiatan wartawan yang mencari informasi untuk dipublikasikan.
“Informasi itu berupa data dan fakta, baik itu berupa teks dan foto (atau penggabungan keduanya untuk media cetak), audio dan audio visual (untuk media elektronik), serta penggabungan seluruhnya dalam media siber, juga infografis untuk media cetak, televisi, dan media siber,” jelas dia.
Nurlis menegaskan, seluruh informasi yang diperoleh wartawan haruslah berupa data dan fakta yang akurat dan dapat diamati serta dapat diverifikasi.
“Prinsip tersebut sangat ketat, dan mirip dengan karya ilmiah dalam dunia akademik. Jadi karya jurnalistik itu pun sebetulnya adalah karya ilmiah dalam versi sederhana sebab dikerjakan dengan begitu cepatnya,” kata Nurlis menambahkan.
Nurlis pun menjelaskan alur sebuah berita secara sederhana adalah bahan tulisan yang diperoleh wartawan dikirim ke redaksi.
“Untuk diuji kebenarannya serta tak melanggar kode etik jurnalistik oleh para editor, melalui tahapan editing, baru kemudian dipublikasi,” jelas Nurlis yang menyelesaikan program doktoralnya dengan disertasi mengenai Konstruksi Hukum Pers dan Etika Jurnalistik di Era Digital.
Jadi, menurut Nurlis, karya jurnalistik itu bukan rangkaian kata-kata yang serampangan yang tanpa arah.
“Karya jurnalistik menggunakan bahasa yang ringan, namun tetap taat pada kaedah-kaedah bahasa Indonesia yang benar. Bobotnya terletak pada data dan fakta yang disajikan serta didukung dengan narasumber yang tepat dan kuat. Lebih penting lagi adalah karya jurnalistik terlahir dari prinsip jujur, akurat, benar, dan adil,” katanya.
Dari penjelasan Nurlis tersebut menunjukkan bahwa Undang-Undang Pers tidak melindungi narasumber informasinya. Jadi, katanya, konten dalam akun Youtube Channel Bang Edy Mulyadi tersebut tidak dapat diukur dengan Hukum Pers.
“Pertama Youtube bukanlah perusahaan pers, dan kedua adalah yang bersangkutan adalah narasumber dalam channel tersebut, kedua-duanya tidak bisa diukur dengan Undang-Undang Pers,” pungkas Nurlis.
Jurnalis: Agung Nugroho
Tinggalkan Balasan