JAKARTA – Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher menilai kurang tepat langkah pemerintah yang memangkas anggaran kesehatan pada RAPBN 2023.
Menurut Netty, meskipun angka Covid-19 sudah melandai, namun hal itu bukan alasan yang tepat untuk memangkas anggaran.
“Masalah kesehatan Indonesia bukan hanya soal Covid-19, tapi juga ada stunting, angka kematian ibu dan bayi, pelayanan kesehatan, kebiasaan hidup sehat dan sebagainya. Oleh karena itu menurunkan anggaran kesehatan di tengah banyaknya prioritas kesehatan yang tertunda akibat penanganan pandemi bukan langkah yang tepat dan dapat berakibat buruk pada sistem kesehatan,” kata Netty, Jumat (19/8/2022).
Anggaran kesehatan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 dialokasikan sebesar Rp169,8 triliun, turun 20,2 persen dibanding tahun 2022 yakni Rp212,8 triliun.
“Kita juga tidak dapat menjamin bahwa Covid-19 sudah berakhir dan tidak lagi menjadi ancaman di masa yang akan datang. Justru kita perlu memastikan tersedianya anggaran kesehatan yang prima sebagai bentuk kewaspadaan, “katanya.
Menurut Netty, pasca Pandemi Covid-19 yang belum bisa dibilang berakhir ini, pemerintah justru perlu memperbaiki dan membangun sistem kesehatan yang terbukti kewalahan menghadang pandemi.
“Sistem kesehatan kita harus diperkuat. Enam pilar transformasi kesehatan yang sudah dicanangkan pemerintah akan sulit terealisasi jika kurang didukung dengan anggaran yang memadai. Apalagi dengan adanya ketentuan tidak bolehnya tenaga honorer di instansi pemerintah, maka pelayanan kesehatan pun terancam kolaps,” ujarnya.
Oleh karena itu, Netty meminta pemerintah meninjau dan mengkaji kembali alokasi anggaran kesehatan agar apa yang menjadi target pemerintah terkait transformasi kesehatan bisa tercapai.
Netty juga menyinggung terkait rencana naiknya anggaran perlindungan sosial tahun 2023 menjadi Rp479,1 triliun.
“Perlu di-breakdown, untuk apa saja anggaran sebesar itu? Apakah akan dibagikan dalam bentuk tunai atau program instan lainnya? Masyarakat saat ini lebih membutuhkan ketersediaan lapangan pekerjaan dari pada bantuan tunai. Apalagi dari data BPS di Februari 2022, sebanyak 50 persen pengangguran di Indonesia berada di usia produktif,” jelas dia.
“Seharusnya pemerintah fokus menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia. Hal ini bisa lebih berkelanjutan dibanding bantuan yang sifatnya sementara,” pungkas dia.
Jurnalis: Agung Nugroho
Tinggalkan Balasan