JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan 20.783 orang di Indonesia terkonfirmasi terinfeksi penyakit sifilis selama 2022. Berdasarkan data yang dihimpun Kemenkes, 46 persen terkonfirmasi menderita sifilis merupakan perempuan, sedangkan 54 persen merupakan laki-laki.
Pada kelompok usia berdasarkan data yang sama, diketahui tiga persen merupakan anak berusia di bawah empat tahun, diikuti dengan usia 5-14 tahun 0,24 persen, 15-19 tahun enam persen, 20-24 tahun 23 persen, sedangkan bagi usia di bawah 50 tahun ada lima persen.
Kasus paling tinggi ditemukan pada kelompok usia 25-49 tahun mencapai 63 persen.
Kemenkes juga menemukan penderita sifilis paling banyak ditemukan pada laki-laki yang melakukan seks dengan laki-laki (LSL) sebesar 28 persen, sebanyak 27 persen merupakan ibu hamil, pasangan berisiko tinggi (risti) sebanyak 9 persen, wanita pekerja seks (WPS) sebanyak 9 persen. Kemudian, sebanyak 4 persen merupakan pelanggan pekerja seks (PPS), injection drug users (IDUs) sebanyak 0,15 persen, waria 3 persen, dan lain-lainnya sebesar 20 persen.
Diungkapkan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi, saat ini Kemenkes fokus pada penemuan kasus sifilis dengan melakukan skrining dini pada level, terutama populasi rentan dan risiko tinggi dengan menggunakan rapid test (tes cepat) yang sudah terstandar dan hasilnya cepat.
“Sehingga bila ditemukan hasil positif dapat segera ditangani,” kata Imran dikutip dari Antara, Jumat (12/5/2023).
Pada kesempatan itu, Imran memaparkan sejumlah penyebab banyaknya kasus sifilis tersebut. Dikatakan, penyakit sifilis berhubungan erat dengan perilaku masyarakat yang gemar berhubungan seks secara berisiko tanpa menggunakan kondom.
Selain itu, terdapat kelompok tertentu yang sering berganti pasangan ketika seks, hingga pria yang berhubungan seks dengan sesama jenis.
Imran menekankan, kondisi penyakit sifilis di Indonesia memprihatinkan. Hal ini karena pada 2022, sebanyak 5.590 ibu hamil positif terkena sifilis, sedangkan yang sudah mendapatkan pengobatan berkisar 2.227 ibu.
Dikatakan, setiap pihak harus berhenti berprasangka buruk pada penderita sifilis sehingga penderita bisa segera diobati dan dicegah keparahannya.
Hal itu dikarenakan sifilis berpotensi ditularkan dari ibu hamil ke anak yang dikandung dan membuka potensi bayi lahir cacat atau mengidap sifilis bawaan (sifilis kongenital).
Untuk mengatasi sifilis, Kemenkes berfokus pada penemuan kasus pada populasi rentan dan berisiko tinggi. Selain menggencarkan tes cepat antigen, Kemenkes juga mencegah sifilis melalui sosialisasi edukasi seksual, terutama kepada kelompok risiko tinggi dan juga informasi IMS atau infeksi menular seksual pada kelompok masyarakat umum.
Sosialisasi dan edukasi ini penting sebagai upaya intervensi perubahan stigma dan diskriminasi (IPSD) untuk memperkuat pelayanan kesehatan dan penemuan kasus.
“Kami pastikan akses layanan IMS jadi berkualitas tinggi untuk semua populasi. Penularan IMS juga akan terus diupayakan berkurang dengan menyasar pada populasi kunci, pasangan dan pelanggannya, sambil memastikan data berkualitas untuk memandu respons menghadapi penyakit (sifilis),” pungkas dia.
Jurnalis: Syahrudin
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan