SEMARANG- Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin meminta Mahkamah Agung (MA) agar membuat aturan soal status anak-anak hasil pernikahan beda agama. Hal ini dia utarakan usai MA melarang semua pengadilan untuk mengabulkan pencatatan pernikahan beda agama dan keyakinan.
“Tentang nasib anak-anaknya nanti saya minta kepada pihak Mahkamah Agung untuk menetapkan statusnya secara hukum kenegaraan, itu nanti kita seperti apa. Sama minta MA yang menetapkan yang sudah terlanjur ditetapkan nanti, apakah dibatalkan, apakah itu diberi semacam pengakuan. Nanti segi hukumnya Mahkamah Agung,” kata Ma’ruf Amin di Semarang, Jawa Tengah, Minggu (23/7/2023).
Larangan pencatatan pernikahan beda agama dan keyakinan itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-umat yang Berbeda Agama dan Keyakinan.
SE itu ditandatangani Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada Selasa, 17 Juli 2023. Juru Bicara MA Suharto menjelaskan SEMA itu ditujukan ke ketua pengadilan banding dan ketua pengadilan tingkat pertama.
“Soal larangan, edaran (MA) itu sudah selesai yang kemarin menjadi semacam perdebatan, pengadilan boleh menetapkan atau tidak boleh menetapkan, menurut edaran Mahkamah Agung itu berarti tidak boleh lagi ke depan ditetapkan,” ujar Ma’ruf Amin.
Dengan demikian, Ma’ruf Amin menyerahkan kepada masing-masing organisasi agama untuk menetapkan sah atau tidaknya sebuah pernikahan.
“Dari segi sah tidaknya itu ada pada masing-masing agama. Mungkin dari agama Islam ada Majelis Ulama, nanti agama Kristen ada KWI, PGI, dan juga agama-agama lain,” katanya.
“Dari yang sudah terlanjur, saya minta MA menetapkan nasib yang sudah tercatatkan itu, apakah diberi atau justru dibatalkan karena tidak sesuai peraturan yang dipegang atau yang dibikin dasar oleh MA,” sambung Ma’ruf Amin.
MA melarang semua pengadilan untuk mengabulkan pencatatan perkawinan berbeda agama dan keyakinan.
Sejumlah pengadilan di Indonesia sebelumnya mengabulkan pernikahan beda agama dan keyakinan. Beberapa pengadilan yang memperbolehkan itu, yakni Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, PN Jakarta Pusat, PN Jakarta Selatan, PN Tangerang, dan PN Yogyakarta.
“Para hakim harus berpedoman pada ketentuan: Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan,” kata Ketua MA Muhammad Syarifuddin dalam SEMA tersebut.
Syarifuddin mengatakan hal itu dilakukan untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Syarifuddin mengungkapkan perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
“Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,” ujarnya.
Jurnalis: Agung Nugroho
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan