DEPOK – Calon Presiden (Capres) PDIP Ganjar Pranowo mengungkapkan ada banyak konflik agraria atau perebutan lahan yang tidak tercatat dan berada di luar sorot pemberitaan media.
Ganjar menyampaikan hal itu saat merespons pertanyaan salah satu panelis dalam acara itu, Della Azzahra, seorang mahasiswa di Departemen Ilmu Politik UI.
Dia mengaku memiliki banyak pengalaman soal itu selama 10 tahun menjadi Gubernur Jawa Tengah. Menurut dia, konflik agraria umumnya muncul karena pelaku kepentingan tak melakukan mitigasi.
“Dugaan saya kasusnya lebih banyak dari itu. Bukan 212. Itu yang tercatat terlaporkan oleh kawan-kawan media. Dugaan saya lebih. Karena saya banyak menangani hal itu,” kata Ganjar di kuliah kebangsaan FISIP UI, Senin (18/9/2023).
Dia menyorot kenaikan konflik agraria dari semula 207 pada akhir 2021, menjadi 2012 pada 2022 menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
“Meskipun hanya naik lima kasus, secara jumlah, tapi luas konflik meningkat drastis bahkan hingga 100 persen dari 500 ribuan hektar menjadi 1 juta hektar,” ucap Della.
Menurut Ganjar, selain minim mitigasi, konflik agraria muncul karena pemerintah tak menghormati hak masyarakat. Dia lalu bercerita pengalamannya di Jateng, saat mengerjakan satu proyek jalan. Ganjar mengaku sempat menolak usulan agar jalan dibuat lurus. Sebab, hal itu akan memicu konflik besar dengan masyarakat.
“Bahwa kalau dibuat lurus seperti ini, jaraknya jauh lebih pendek. Tapi itu akan memotong sekian kampung dan rumah. Anda sudah analisis konfliknya seperti apa? ‘Pak Ganjar punya usulan? Punya’. Bagaimana kalau kemudian kita, berputar jalannya,” kata Ganjar.
Menurut dia, sejumlah konflik agraria banyak terjadi karena harga yang belum disepakati antara pemilik lahan atau masyarakat dengan pemerintah. Ganjar juga tak tak menampik kenaikan harga lahan saat dibutuhkan untuk sebuah proyek strategis.
“Tapi kalau ada pekerjaan harganya tinggi. Itu ya, kondisi sosiologis biasa saja. Supply and demand. Terus kemudian mereka menegosiasikan itu,” katanya.
Namun, dia menyoroti mitigasi yang juga kerap diabaikan pemerintah. Menurut dia, pemerintah memang kerap lebih memilih jalan praktis dibanding melakukan pendekatan secara persuasif dari berbagai aspek, mulai dari sosiologis, antropologis, hingga psikologis.
“Tapi sebenarnya mitigasinya yang kurang. Kalau itu kemudian tanah akan diberikan katakan kalau sekarang yang ramai di Rempang, bagaimana sih caranya itu tanah siapa. Mitigasi itu lah yang kemudian penting untuk mencegah,” kata Ganjar.
Ujungnya, sebuah proyek strategis kerap melahirkan konflik karena pemerintah lebih memilih jalur hukum. Menurut Ganjar, pendekatan hukum biasanya akan berakhir dengan bentrok.
“Akhirnya, hukumnya berjalan. Begitu hukum jalan, tampilannya adalah kekerasan. Itu yang terjadi,” pungkas dia.
Jurnalis: Agung Nugroho
Tinggalkan Balasan