JAKARTA – Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar menyatakan pemahaman akar sejarah secara komprehensif menjadi kunci keberhasilan pembangunan desa.
Menteri yang akrab disapa Gus Halim menegaskan hal itu dalam peluncuran dan bedah buku Naskah Sumber Arsip “Desa Ordonnantie” Jawa Madura di Kantor Kemendes Kalibata, Jakarta, Senin (4/12/2023).
Pemahaman atas akar sejarah desa, terutama berkaitan dengan pembangunan memiliki dinamika sendiri, sejalan dengan perkembangan zaman dan rezim pemerintahan.
Pada masa prakolonial, ketika kerajaan-kerajaan tradisional eksis di Nusantara, ruang otoritas desa cukup luas dalam menjalankan urusan pemerintahannya sendiri.
Saat itu, sebagian besar desa hanya diberikan satu kewajiban, yaitu memberikan upeti tertentu kepada penguasa. Sedangkan yang lain, seperti desa perdikan, diberikan tugas-tugas khusus dari raja.
Otoritas yang luas tersebut, menjadikan desa mampu menciptakan corak-corak praktik sosial dan budaya yang berbeda, dalam menjalankan kehidupannya.
Pada masa kolonial Belanda, otoritas desa untuk menjalankan pemerintahan sendiri mulai dibatasi. Desa dijadikan obyek untuk memenuhi kebutuhan pemerintah kolonial dan negara penguasa.
Kala itu, desa tidak bisa lagi membuka lahan pertanian baru dan menentukan tumbuhan yang akan ditanam sendiri, karena kewenangan tersebut dirampas oleh pemerintah kolonial.
Pada masa kolonial, sistem administrasi desa juga mulai diseragamkan, dan dimasukkan sebagai bagian dari struktur pemerintahan kolonial.
Dengan terbitnya Ordonnantie Desa atau aturan-aturan desa, desa berada di bawah struktur pemerintahan pribumi, yang bertanggung jawab kepada bupati.
Ordonnantie Desa yang menyeragamkan administrasi dan kewajiban desa gagal memahami desa sebagai entitas yang majemuk, dengan keberagaman sosial dan budayanya.
Oleh karena itu, Gus Halim menegaskan bahwa tidak ingin mengulangi kegagalan dalam memahami desa seperti yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.
“Pemahaman desa secara kompreherensif sebagai entitas politik, sosial, dan budaya, menjadi salah satu kunci keberhasilan pembangunan desa,” kata Gus Halim.
Undang-Undang Desa, lanjut Gus Halim, sebagai pengganti Ordonnantie Desa berupaya membangkitkan kembali pemahaman atas keberagaman desa di dalam pembangunan.
Undang-Undang Desa menjamin hak ulayat dan hak asal-usul desa, untuk menjalankan pemerintahannya.
Hak ini membuat desa bisa menjalankan pemerintahan, sesuai dengan hukum adat dan budayanya. Keberagaman sosial-politik dan budaya desa diakomodasi di dalam Undang-Undang Desa.
Kini, desa mampu merencanakan, menjalankan, dan mengevaluasi pembangunan. Desa juga diberi kewenangan lebih luas, dalam mengelola anggarannya yang meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan.
“Pembangunan desa dijalankan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kehendak masyarakat desa. Desa bukan lagi sebagai obyek dan sapi perah, melainkan sebagai subjek aktif pembangunan,” kata Profesor Kehormatan Unesa ini.
Gus Halim kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 21 tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Peraturan ini jadi pedoman untuk melaksanakan pembangunan desa yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta mengakomodasi lokalitas desa.
SDGs Desa yang merupakan pelokalan SDGs Global menjadi arah pedoman bagi desa untuk melaksanakan pembangunan desa secara berkelanjutan.
SDGs Desa ini menambahkan satu tujuan ke-18 yaitu Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif.
Tujuan SDGs Desa ke-18, berupaya menghadirkan kembali lokalitas politik, sosial, dan budaya desa dalam menyelenggarakan pembangunan.
Desa dapat memanfaatkan kelembagaan desa yang ada untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, sesuai dengan konteks sosial budaya desa.
“Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 6 tahun 2023, tujuan SDGs Desa ke-18 dinaikkan derajatnya, menjadi mainstreaming bagi 17 tujuan SDGs Desa. Artinya, setiap upaya mencapai 17 Tujuan SDGs Desa, harus berbasis pada akar budaya dan lembaga desa,” urai Gus Halim.
Dalam kesempatan tersebut, Gus Halim berharap Buku Desa Ordonnantie ini membuka cakrawala berpikir pembaca, bahwa pemahaman utuh atas keberagaman desa, dan upaya mengakomodasinya ke dalam pembangunan, menjadi salah satu kunci keberhasilan pembangunan nasional.
“Saya mengucapkan selamat dan sukses atas terbitnya buku ini. Semoga menjadi jariyah penulis untuk kebangkitan desa,” kata mantan Ketua DPRD Jawa Timur ini.
Jurnalis: Agung Nugroho
Tinggalkan Balasan