JAKARTA, INDONESIAPARLEMEN.COM -Penggunaan zonasi dalam menentukan risiko penularan Covid-19 dinilai kurang tepat. Hal ini karena minimnya jumlah pelacakan dan pemeriksaan kasus di sebagian besar wilayah di Indonesia.
Selain itu, masyarakat juga belum disiplin menjalankan protokol kesehatan. Ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan, jumlah tes per 1 juta penduduk di Indonesia masih sangat rendah. Pada minggu ke-27 hanya 294 tes yang dilakukan per 1 juta penduduk atau 29,4 persen dari target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
”Hanya DKI Jakarta yang memenuhi standar WHO, yakni minimal 1.000 tes per 1 juta penduduk. Di lain sisi, positivity rate (persentase kasus positif dengan jumlah orang yang dites) juga cukup tinggi. Di minggu 27 tercatat sebesar 12,6 persen. Padahal, WHO menetapkan target kurang dari 5 persen,” tuturnya saat bergabung di Online Talkshow yang diadakan USAID IUWASH PLUS tentang 3MPlus Perilaku Kunci Aman dan Produktif di Masa Pandemi pada Rabu (12/8/2020).
Ia menilai, penggunaan zonasi untuk menentukan risiko penularan Covid-19 di suatu daerah menjadi tidak akurat.
Jumlah kasus sedikit yang dilaporkan di wilayah zona hijau bisa saja terjadi karena jumlah orang yang dites juga minim. Sementara itu, mobilitas penduduk antarzona sangat tinggi setelah masa transisi PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dijalankan.
Untuk itu, wilayah yang termasuk dalam zona hijau tidak menjamin risiko penularan Covid-19 rendah. Mobilitas masyarakat yang semakin tinggi saat ini justru meningkatkan risiko penularan kasus di sejumlah daerah.
”Bisa jadi suatu wilayah tidak ada kasus karena tidak ada testing (pemeriksaan spesimen). Zonasi ini seharusnya tidak digunakan karena bisa menyebabkan kesalahan pengambilan keputusan. Itu sudah terjadi pada keputusan untuk kembali dibukanya sekolah yang didasarkan pada wilayah dengan zona hijau dan kuning,” kata Pandu.
Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan, jumlah kasus Covid-19 baru di Indonesia bertambah 1.942 orang per 12 Agustus 2020.
Sementara, jumlah kasus yang diperiksa sebanyak 13.698 orang atau dengan positivity rate 14,2 persen. Dari penambahan kasus itu, jumlah total kasus positif Covid-19 di Indonesia menjadi 130.718 kasus dengan total kasus sembuh 85.794 pasien dan kasus kematian 5.903 orang.
Perilaku Pencegahan dan Biasakan Yang Baru dengan 3MPlus
Menurut Pandu, PSBB akan sulit jika kembali diberlakukan di Indonesia. Aktivitas perekonomian sudah berjalan. Karena itu, upaya paling efektif untuk menekan laju penularan Covid-19 melalui proteksi perilaku pencegahan dari masyarakat.
Kesadaran penuh harus dimiliki, terutama untuk selalu memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, dan menjaga jarak. Dengan disiplin melakukan tiga upaya pencegahan itu, risiko penularan bisa ditekan sampai 2 persen. Sementara, jika tidak ada perilaku pencegahan, risiko penularan Covid-19 bisa mencapai lebih dari 30 persen.
”Untuk mendukung peningkatan kesadaran masyarakat dalam mencegah penularan Covid-19, pemerintah wajib menyediakan fasilitas serta sarana dan prasarana yang mendukung. Percuma jika pemerintah meminta masyarakat mencuci tangan tetapi tidak ada akses air bersih dan sabun di lingkungan tempat tinggalnya,” tutur Pandu.
Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Imran Agus Nurali mengatakan, pemerintah berkomitmen menyediakan akses air minum dan sanitasi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Hal itu sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Targetnya, akses air minum yang layak bisa mencapai 75,34 persen dan akses perpipaan mencapai 30,45 persen.
Dengan menerapkan sanitasi total berbasis masyarakat, perilaku hidup bersih dan sehat, termasuk mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, diharapkan makin baik dijalankan.
Hal ini sekaligus untuk mencegah penularan berbagai penyakit, termasuk Covid-19.
Imran menuturkan, angka kepatuhan warga menjalankan protokol kesehatan masih rendah.
Dari survei yang dilakukan di Surabaya, Jawa Timur, angka kepatuhan masyarakat untuk mencuci tangan di moda transportasi hanya 33 persen. Angka ini menurun pada kepatuhan di pasar tradisional (29,24 persen) dan proyek pembangunan gedung (18,33 persen).
”Berbagai kebijakan dan protokol kesehatan sudah diterbitkan pemerintah. Bahkan, ada protokol spesifik di tempat umum, seperti perkantoran dan moda transportasi. Diharapkan edukasi dan promosi kesehatan yang dilakukan secara terus-menerus bisa meningkatkan pentrasi masyarakat untuk mencegah penularan Covid-19,” kata Imran.
Tenaga medis yang juga merupakan influencer di media sosial, Falla Adinda, mengungkapkan, figur publik juga berperan meningkatkan kesadaran warga untuk menjalankan protokol kesehatan. Oleh karena itu, influencer harus jadi agen perubahan perilaku warga agar menjadi lebih baik, bukan malah memberikan informasi salah.
”Dari diri sendiri harus menjadi contoh yang baik bagi masyarakat. Edukasi dan promosi kesehatan juga harus disampaikan secara jelas dan konsisten dengan komunikasi yang mudah diterima oleh masyarakat. Dengan begitu, informasi yang disampaikan juga bisa diterapkan dengan baik.” Pungkasnya. (Nov/Red)
Tinggalkan Balasan