Opini Oleh : Hasan Gauk
Sekertaris DPP LSM KASTA NTB (Kajian Sosial dan Advokasi Serta Transparansi Anggaran Nusa Tenggara Barat)
Mutasi pada dasarnya adalah kebijakan positif suatu lembaga dalam rangka penyegaran sumber daya manusia (SDM).
Di samping itu, mutasi juga merupakan sarana yang tepat dalam rangka menerapkan sistem reward and punishme (penghargaan dan penghukuman).
Namun, berdasarkan pengamatan saya, seringkali Pemkab Lombok Timur menggunakan parameter yang kurang tepat sebagai pertimbangan kebijakan mutasi.
Selama ini, kebijakan mutasi hanya didasarkan pada kedekatan, bukan berdasarkan profesionalisme dalam menjalankan tugas. Tidak pada masalah kualitas, integritas, dan kemampuan yang bersifat substantif tidak ter-cover dalam data.
Diluar itu, saya juga menyoroti masalah waktu mutasi yang tidak terpola sehingga terkadang menyebabkan satu posisi struktural kosong untuk rentang waktu yang cukup lama.
Masalah kekosongan akan menjadi krusial apabila posisi tersebut ternyata posisi penting sehingga banyak pekerjaan yang terbengkalai. Juga soal posisi SDM yang ditempatkan tidak pada keahliannya.
Parameter promosi dan mutasi juga harus diperbaiki, jangan hanya melihat dari sisi formalitas tanpa melihat kapabilitas, integritas, dan kompetensi.
Statemen Sekretaris Daerah yang mengatakan “mutasi hal yang biasa untuk memperkuat kinerja,” ternyata fakta sepertinya terbalik. Ketidakmampuan membaca hal yang fundamental dalam menempatkan SDM sesuai dengan kemampuannya akan membawa kehancuran.
Berbagai eselon pejabat dimutasi dalam peristiwa mutasi hari selasa kemarin. Pejabat eselon II banyak yang bergeser, ini tentunya juga menjadi perhatian publik. Apakah sesuai aturan atau tidak karena setau saya eselon II ini harus melalui Job Fit dan assessment sesuai dengan PP 17 tahun 2020 perubahan atas PP 11 2017 tentang Manajemen PNS khususnya dalam mutasi dan/atau promosi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama.
Seharusnya sekelas Sekertaris Daerah dan BKPSDM harus hatam soal perundang-undangan. Tugasnya dalam hal ini melaksanakan kajian dan telaah secara komprehensif dalam memberikan masukan sebagai dasar pengambilan kebijakan. Hal ini menunjukkan kelemahan dalam menjalankan kepatuhan terhadap peraturan perundangan dalam bernegara.
Pak Bupati seolah-olah memimpin Lombok Timur ibarat memimpin perusahaan pribadi yang seenaknya tanpa memperhatikan peraturan perundangan yang berlaku. Bagaimana Lombok Timur bisa maju.
Seorang Dokter jadi Asisten III bidang Administrasi Pemerintahan, Dokter Gigi menjadi staf Ahli Bupati, dan di era Pak Bupati yang sekarang paling banyak mengangkat staf khusus Bupati tanpa dasar hukum yang jelas, selain itu Bupati juga membentuk tim Bupati untuk Percepatan Pembangunan yang terkesan memboroskan anggaran karena keberfungsian tim tersebut seolah hanya untuk mengakomodir Tim Sukses.
Tidak cukup dengan itu, carut marut Ijin Usaha Retail dan Tambak serta mengelola BUMD PDAM dalam hal pemberhentian dan pengangkatan kembali direktur yang terkesan sangat jelas mengabaikan peraturan perundangan yang berlaku.
Itulah bagian kecil sekelumit carut marut Negeri Lotim ku tercinta.
Para pembantu Bupati dalam urusan mutasi pejabat sebenarnya sangat memahami aturan-aturan yang ada, namun mereka lebih memilih memakai kacamata kuda sehingga kebodohan seperti ini kerap dipertontonkan atau memang Bupati sengaja ingin memperlihatkan sifat aslinya yang bertangan besi? Hal itu bisa kita sama-sama tanyakan pada Drs. H. M. Juaeni Taoufik M.AP., dan Syamsuddin, S.Adm., S.Sos., M.AP., yang sudah paham betul terkait aturan perundang-undangan dan Administrasi seperti yang sama-sama kita ketahui secara bersama.
Tapi kalau Bung Syam selaku Gubernur LIRA NTB tersebut masih menganggap saya ngawur, berarti kita perlu memeriksa kembali gelar yang berderet-deret tersebut.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan