TANGERANG – Sidang Praperadilan atas dugaan pelanggaran tidak dikirimnya Surat Pemberitahuan Dimulai Penyidikan (SPDP) yang dilakukan oleh Polres Tangerang atas kasus dugaan penetapan pelaku UMKM digelar Pengadilan Negeri Tangerang. Sidang ini sempat bersitegang antara saksi ahli dengan Bidang Hukum Polda Banten.
Sidang dengan agenda saksi dari pemohon dan termohon ini berlangsung di ruang sidang 7 PN Tangerang. Dalam sidang ini tim dari Bidkum Polda Banten membawa 7 orang anggota sedangkan pihak pemohon dari LQ Indonesia Lawfirm beranggotakan tiga orang.
Sementara itu sidang ini dipimpin oleh Emy Tjahni Widiastoeti selaku hakim tunggal.
Sidang yang digelar sejak pagi ini berlangsung tegang. Pasalnya tim Bidkum Polda Banten merasa pertanyaan yang dilayangkan tidak mendapat jawaban oleh saksi ahli yakni Dwi Seno Widjanarko.
Dalam hal ini Kuasa Hukum dari pemohon Alvin Lim menganggap, dari keterangan saksi ahli dan saksi fakta membuktikan adanya pelanggaran HAM yang dilakukan Polresta Tangerang.
“Saat ditanyakan apakah akibat hukum apabila penetapan tersangka di lakukan dengan proses hukum yang melanggar hukum acara pidana, saksi ahli menjawab proses penegakan hukum, “due process of law” yang melawan hukum acara pidana akan menyebabkan, penetapan tersangka cacat hukum,” katanya kepada wartawan di PN Tangerang, Kamis (23/12/2021).
Kata dia Penetapan tersangka, adalah kesatuan dari “due process of law” dengan proses penyidikan. KUHAP di buat untuk menegakkan HAM dan Hak Konstitusional Warga negara yang diatur dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 mengenai kepastian hukum yang adil.
“Sehingga dalam penegakan hukum ada hukum acara pidana yang wajib di lakukan oleh penyidik tanpa melanggar HAM,” jelasnya.
Dirinya juga menyayangkan dengan sikap Bidkum Polda Banten yang seakan melecehkan saksi ahli yang juga merupakan Ahli Pidana dari Universitas Bhayangkara.
“Itu Dosen Universitas Bhayangkara Jaya yang berbicara. “Bhayangkara” itu polisi toh, ketika dosen polisi sudah bilang salah, kenapa oknum anggota Polri masih ngotot? Apa mungkin para polisi ketika kuliah hukum mereka sedang lelah atau kecapean karena nangkap begal payudara sehingga mereka berfantasi dan ciptakan ilmu hukum sendiri, jurus hukum pidana “semau gue”,” ucapnya.
Pantauan di lokasi sempat terjadi pembicaraan sengit dan suasana memanas ketika pihak Bidkum Polda menyinggung Ahli Pidana Universitas Bhayangkara ketika Ahli melihat kertas.
Saat itu Dwi Seno, dengan kata keras dan tegas menghardik AKBP Bidkum untuk menghargai profesinya.
Sementara itu Dwi Seno Widjanarko, selaku ahli pidana yang dihadirkan dalam peristiwa ini mengaku dalam peristiwa hukum ini negara hukum atau rekstat yang berbicara tentang hukum apabila dalam sebuah proses hukum tidak dilalui dengan proses yang benar maka itu menjadi sebuah pelanggaran hukum atau melanggar KUHAP.
“Kalau kita berbicara negara hukum tentunya kita akan memiliki grunoren yaitu UUD 45 tentunya tentang berbicara tentang norma hukum dasar yaitu pasal 28 tentang hukum yang benar, lalu middlenya adalah akses kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfaatan,” terangnya.
“Applynya itu berkenaan tentang KUHAP, apabila melakukan tindakan tindakan di dalam rangka proses hukum tentunya barometernya adalah KUHAP, Apabila SPDP tidak diberikan kepada si tersangka, dan bahkan kepada pihak kejaksaan bagaimana kejaksaan bisa menunjuk jaksa itu utk memotinor dan mengawasi hukum tersebut,” tegasnya.
Dengan demikian dia mengaku jika tidak ada SPDP yang diberikan atau disampaikan kepada pihak pihak tersebut maka terjadilah cacat hukum.
“Apabila senggang waktu 7 hari itu tidak diberikan, 8 hari atau 9 hari maka cacat hukum atau ilegal daripada ilegal hukum tersebut yang kita sebut pelanggaran di dalam negara hukum ini,” ujarnya.
“Saya bisa simpulkan apabila proses the proses ablow tidak dilaksanakan, jelas secara formil Prapid ini adalah untuk menguji, daripada kebenaran formil apa benar sudah dilakukan sesuai dengan KUHAP, apabila tidak dilakukan dengan KUHAP tentu secara formil ini melanggar KUHAP, maka perkara ini cacat demi hukum,” tuntasnya.
Untuk diketahui perkara ini bergulir saat TS dan M mengalami dugaan kekerasan oleh pihak Kepolisian di Polresta Tangerang. Saat itu TS dan M dituding melakukan pelanggaran dalam usaha UMKM miliknya.
Namun menurut Alvin Lim petugas malah melakukan pemerasan dengan adanya upaya tawaran damai kepada TS dan M.
“Klien mengadu bahwa dia sudah 3 kali menjadi korban dugaan pemerasan.
Kenapa saya bilang dugaan pemerasan? Ya jadi klien saya ini sudah pernah dilaporkan polisi sbelumnya, ya jadi bekingannya di belakangnya sama, oknum nya sama, disitu tapi dia menggunakan orang lain seolah konsumen,” terangnya.
Namun saat memberikan sejumlah uang dengan nominal ratusan juta sebanyak dua kali, lanjut Alvin, petugas malah menaikkan perkara TS dan M saat tidak diberikan untuk yang ketiga kalinya.
“Nah di dalam yang ketiga ini ketika mereka datang ke saya, saya bilang yang namanya masyarakat itu tolong jangan ikut yang seperti itu karena memberikan uang damai ke oknum itu gratifikasi, jangan saya bilang.
Lawan saja secara proses hukum yaitu ajukan prapradilan, kita mengikuti proses hukum sesuai undang undang dimana di atur pasal 77 ayat a itu jelas jadi kita lawyer kita ikutin proses hukum, kita gak main bar bar, kita gak main kekerasan,” tuntasnya.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan