Imron Fatoni
Staf Ahli DPR RI
Ada yang bilang Partai Keadilan Sejahtera (PKS) hanya pencitraan menolak kenaikan BBM untuk mendapatkan simpati rakyat. Ada juga yang bilang penolakan kenaikan BBM tidak ada gunanya, karena toh harga BBM tetap naik, yang artinya PKS tidak digubris pemerintah.
Jadi begini ya brodi, pencitraan di era disrupsi seperti sekarang ini adalah keniscayaan. Bahkan setiap hari, tanpa sadar kita sedang membangun citra di medsos. Kita mengenalkan diri melalui aktivitas kita sehari-hari, kita menampilkan sisi paling manusiawi. Kita sedang membranding diri. Kita berusaha mengarahkan dan membentuk persepsi orang lain terhadap diri kita. Dan itu sah-sah saja kok.
Yang tidak boleh itu adalah membangun citra palsu. Memanipulasi diri seolah-olah kita ini paling idealis padahal pragmatis, mencitrakan diri seolah-olah kita ini bersih, padahal ngak bersih-bersih amat, mencitrakan diri kita ini mapan, padahal utang kita numpuk dimana-mana.
Ini namanya bukan sedang membangun citra, tapi sedang melakukan kebohongan publik. Tipe seperti ini memang senang menggunakan media sosial bukan untuk membangun brand, tapi untuk memanipulasi diri.
Yang kedua soal penolakan tidak mengubah apa-apa. Benar. Secara politik, penolakan yang dilakukan memang kecil sekali kemungkinan akan merubah keadaan. Sebab yang menolak ini adalah partai dengan suara minoritas di parlemen.
Tetapi itulah yang disebut dengan empati. Bahwa kita merupakan bagian dari rakyat dan kelak akan kembali sebagai rakyat biasa juga. Ini yang disebut sense of crisis. Setiap manusia mesti harus memiliki rasa empati dalam situasi sulit seperti ini. Sebab itulah yang membedakan kita manusia dengan makhluk lain.
Saya jadi teringat kisah tentang seekor burung yang hendak memadamkan api yang membakar nabi Ibrahim. Burung yang lain dengan nada sinis malah mengatakan;
“percuma kamu melakukan itu, karena air yang engkau bawa tidak sebanding dengan volume api. Tapi si burung dengan tenang menjawab; aku tahu bahwa yang aku lakukan ini tidak bisa memadamkan api Ibrahim, tapi setidaknya Allah tahu aku berada di pihak mana,”
Hari ini, kita menyaksikan betapa ruangan parlemen sunyi senyap saat kebijakan kenaikan harga BBM ini diumumkan. Padahal orang yang tidak berpendidikan tinggi saja, mudah untuk menyimpulkan bahwa kenaikan harga BBM sangat memberatkan rakyat kecil dan akan berdampak luas pada banyak sektor.
Tapi, giliran ada yang bersuara, malah buru-buru di stampel negatif hanya gara-gara tidak mengikuti yang mayoritas.
Lah, terus kudu piye aku mas?
Salam akal sehat. Panjang umur perjuangan. Hidup wong cilik.
Tinggalkan Balasan