JAKARTA – Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menegaskan bahwa implementasi KUHP tidak akan mengganggu kepentingan publik, khususnya komunitas bisnis, investor asing dan turis.
Ini disampaikan dalam pertemuan dengan American-Indonesian Chamber of Chamber secara daring dari Ruang Kerja Menkumham hari ini (13/1/2023).
Pertemuan dilakukan untuk meluruskan isu-isu kontroversi yang menjadi kekhawatiran para pelaku bisnis, investor dan turis. Salah satunya terkait pasal-pasal tentang perzinahan yang merupakan delik aduan mutlak.
Yasonna mengatakan tetap menghormati privasi dan menjamin tidak adanya perubahan perlakuan bagi orang asing yang masuk ke Indonesia. Sebab dalam KUHP baru, proses hukum akan berlaku apabila adanya pengaduan dari pihak yang berhak, yakni pasangan yang sah, orang tua, dan anak.
“Pihak lain tidak boleh mengajukan pengaduan, atau bahkan ‘menjadi hakim’ atas nama kesusilaan. Ini pada akhirnya akan mencabut peraturan kontroversial tentang kohabitasi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah,” ujarnya.
Dia menilai dalam pasal tersebut tidak adanya perubahan yang substantif dengan KUHP yang lama, perbedaan hanya terletak pada penambahan pihak yang berhak melakukan pengaduan. Hanya saja terjadi penafsiran yang salah serta tersebar secara luas menjadikan ketentuan baru tersebut dinilai memberikan dampak yang negatif bagi sektor pariwisata dan investasi di Indonesia.
Menjawab lebih detail pertanyaan dari American Indonesia Chamber of Commerce mengenai pasal perzinahan terkait kaki tangan jika pihak hotel menyewakan kamar, Menkumham menjelaskan bahwa tidak ada kaki tangan dalam pasal ini karena hotel tidak wajib meminta dokumen pernikahan terhadap pasangan yang akan menginap.
Selain itu, Kementerian Hukum dan HAM juga akan berkoordinasi dengan Kemenparekraf untuk sosialiasi dan meluruskan interpretasi terkait pasal ini.
Yasonna juga menjelaskan tentang hukuman mati. Dijelaskannya bahwa KUHP yang baru memiliki pendekatan baru sebagai kompromi antara kelompok retensionis dan kaum abolisionis dalam menjatuhkan pidana mati.
Dalam KUHP yang baru, pidana mati merupakan pidana alternatif dengan masa percobaan 10 tahun, yang dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau pidana tetap berdasarkan penilaian objektif atas perilaku baik narapidana.
Selanjutnya ia juga meluruskan persepsi terkait kebebasan berekspresi. Yasonna mengataan bahwa KUHP telah dengan jelas membedakan tindakan antara kritik dan penghinaan. Melakukan kritik yang berlandaskan atas kepentingan umum bukan kejahatan, namun penghinaan yang terhadap siapa pun adalah kejahatan rasial yang dapat dilaporkan oleh individu yang diserang.
“Norma ini sebenarnya diterapkan di banyak negara. KUHP baru mengaturnya sebagai delik aduan, yang hanya bisa diajukan oleh yang bersangkutan, bukan oleh masyarakat atau simpatisan dan relawan,” tambahnya.
Jurnalis: Agung Nugroho
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan