Foto: ist

JAKARTA – Layanan belanja online TikTok Shop mulai mendominasi pasar e-commerce di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Layanan yang tersemat di dalam aplikasi utama TikTok tersebut berhasil mencatat transaksi (GMV) sebesar US$ 4,4 sepanjang 2022.

Capaian tersebut meningkat 4 kali lipat secara tahun-ke-tahun (YoY). Angka ini terpatri dalam data internal perusahaan yang diketahui The Information.

TikTok Shop sendiri masih terbilang ‘pemain baru’ di industri e-commerce. Fitur ini diluncurkan pertama kali pada April 2021 di Amerika Serikat (AS) dan India.

Belakangan, TikTok Shop pun diekspansi ke negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Thailand.

“TikTok terus bertumbuh positif di Asia Tenggara. Kami memprediksi GMV TikTok pada 2023 akan mencapai 20% dari GMV Shopee,” kata analis firma Blue Lotus Research Institute, Shawn Yang, dalam laporan terbaru Sea Group yang merupakan induk Shopee.

Menurut laporan, TikTok menargetkan GMV sebesar US$ 12 miliar pada 2023 di pasar Asia Tenggara, dikutip dari CNBC International, Jumat (26/5/2023).

Saat ini, Shopee memang masih mendominasi dengan total GMV US$ 73,5 miliar pada 2022. Sementara itu, Lazada meraup GMV US$ 21 miliar.

Kendati demikian, pertumbuhan tajam TikTok Shop tak bisa dianggap remeh. Apalagi, TikTok Shop punya keunikan yang tak dimiliki Shopee dan Lazada sebagai pemain e-commerce dominan di Asia Tenggara.

Kelebihan TikTok Ketimbang Shopee-Lazada

Keunikan itu terletak pada platform media sosial TikTok. Masyarakat membuka TikTok untuk menikmati konten di dalamnya. Lantas, dengan adanya fitur Shop, pengguna bisa secara impulsif membeli barang-barang murah.

Berbeda dengan Shopee dan Lazada yang sama-sama merupakan layanan khusus e-commerce. Ketika pengguna masuk ke platform tersebut, tujuannya memang untuk membeli barang yang dibutuhkan.

Jadi, kemungkinan untuk ‘belanja impulsif’ di Shopee dan Lazada akan lebih jarang ditemui ketimbang di TikTok.

Meski Shopee akhirnya juga mengembangkan fitur ‘Live’ supaya penjual atau influencer bisa jualan melalui video vertikal, namun tetap saja tak bisa menyaingi TikTok yang sedari awal lahir sebagai media sosial.

“Belanja impulsif dari menonton konten adalah daya tarik TikTok,” kata Head of Telecom & Internet Sector Research DBS Bank, Sachin Mittal.

Jurnalis: Dewo