JAKARTA – Tim gabungan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Puspom TNI mengamankan banyak dokumen saat menggeledah kantor Basarnas, Jakarta, Jumat (4/8/2023).
Dari penggeledahan yang dilakukan sejak pukul 10.00 WIB itu, penyidik selesai menggeledah pada pukul 16.28 WIB dan membawa turun sejumlah dokumen yang disusun ke dalam boks dan koper.
Terdapat sebuah kontainer boks dan sebuah koper yang dimasukkan ke mobil penyidik untuk diamankan.
Kepala Pemberitaan KPK Ali Fikri menjelaskan, penggeledahan ini dalam rangka proses penyidikan kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas.
“Dari proses penggeledahan tersebut, ditemukan dan diamankan berbagai dokumen yang diduga memiliki keterkaitan dengan perkara,” kata Ali Fikri dalam keterangannya, Jumat.
Bukti dokumen tersebut selanjutnya disita dalam rangka melengkapi berkas perkara para tersangka. Ali Fikri memastikan, KPK dan Puspom TNI akan terus membangun koordinasi yang baik dalam mengusut kasus suap di Basarnas.
“Tim Penyidik KPK selanjutnya akan menganalisis sekaligus menyita bukti dimaksud,” ungkap Ali.
Total ada lima tersangka dalam kasus ini, yakni Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya; Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil; Kabasarnas Henri Alfiandi; serta Koorsmin Kabasarnas RI, Afri Budi Cahyanto.
Mulsunadi, Marilya, serta Roni diduga merupakan pihak pemberi suap. Sedangkan Henri serta Afri merupakan anggota TNI yang diduga menerima suap.
Di awal kasus, KPK menyampaikan Basarnas di tahun 2023 kembali membuka tender proyek pekerjaan. Proyek tersebut terdiri dari pengadaan alat deteksi korban reruntuhan dengan nilai kontrak Rp 9,9 miliar; pengadaan public safety diving equipment dengan kontrak Rp 17,4 miliar; serta pengadaan ROV untuk KN SAR Ganesha (multiyears 2023-2024) dengan kontrak Rp 89,9 miliar.
Agar dapat memenangkan proyek dimaksud, Mulsunadi, Marilya, serta Roni diduga mendekati dan menemui langsung Henri serta Afri. Diduga tercapai kesepakatan dalam pertemuan tersebut berupa pemberian fee sebesar 10% dari nilai kontrak. KPK menduga nilai fee tersebut ditentukan langsung oleh Henri Alfiandi.
Jurnalis: Dewo
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan