JAKARTA – Ombudsman RI ikut melakukan pengumpulan data terkait konflik agraria yang terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Berdasarkan temuan mereka sejak 23 September 2023 lalu, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam belum mengantongi sertifikat pengelolaan lahan (HPL) di Pulau Rempang.

Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro mengatakan, hak pengelolaan yang dimohonkan pihak BP Batam belum diterbitkan dengan alasan lahan belum clean and clear karena masih dikuasai masyarakat.

Surat Keputusan pemberian hak pengelolaan untuk lahan area penggunaan lain (APL) telah terbit dari Menteri ATR/KBPN tertanggal 31 Maret 2023 dan akan berakhir pada tanggal 30 September 2023.

“Meskipun dapat diperpanjang dengan persetujuan Menteri ATR/BPN berdasarkan permohonan BP Batam,” terang Johanes dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (2/10/2023).

“Warga sudah turun temurun berada di Pulau Rempang, selain itu juga tidak adanya jaminan terhadap mata pencaharian warga,” terang Johanes.

Temuan lain, Johanes mengatakan, belum ada dasar hukum terkait ketersediaan anggaran baik itu terkait pemberian kompensasi dan program secara keseluruhan.

Ombudsman juga menemukan, Pemkot Batam belum menetapkan batas seluruh perkampungan tua di Batam.

“Berdasarkan keterangan dari BP Batam, terkait dengan pemberian kompensasi berupa rumah pengganti maupun uang tunggu dan hunian sementara bagi warga terdampak, memerlukan dasar hukum agar program berjalan,” ucap Johanes.

Terkait keputusan pemerintah mengenai penundaan relokasi, Johanes meminta Pemkot Batam dan BP Batam segera menyampaikan secara langsung baik lisan maupun tertulis kepada warga Pulau Rempang, bukan hanya melalui media massa.

Selanjutnya, Ombudsman RI akan melakukan permintaan keterangan lanjutan kepada sejumlah pihak terkait. Kemudian dilanjutkan konfirmasi temuan, penyerahan Laporan Hasil Akhir Pemeriksaan serta monitoring tindak lanjut Laporan Hasil Akhir Pemeriksaan.

Jurnalis: Agung Nugroho