JAKARTA – Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyebut aktivitas penambangan di Raja Ampat terjadi di pulau-pulau kecil tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam regulasi tersebut, tertulis aktivitas tambang di pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 kilometer persegi beserta kesatuan ekosistemnya.
Sebagiamana hasil pengawasan kegiatan pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, pada 26-31 Mei 2025, Kementerian Lingkungan Hidup menyebut ada empat perusahaan tambang nikel menjadi objek pengawasan.
Mereka ialah PT Gag Nikel beroperasi di Pulau Gag dengan luas 6.030,53 hektare (setara 60 kilometer persegi); PT Anugerah Surya Pratama, di Pulau Manuran seluas 746 hektare (setara 7 kilometer persegi); PT Mulia Raymond Perkasa di Pulau Batang Pele mencakup wilayah 2.193 Hektare (setara 20 kilometer persegi) di Pulau Batang Pele; dan PT Kawei Sejahtera Mining seluas 5 hektare di Pulau Kawe (setara 0,05 kilometer persegi).
“Itu keempat-empatnya merupakan pulau-pulau kecil, sebagaimana yang disebutkan di dalam undang-undang terkait pengaturan pulau kecil dan pesisirnya,” kata Hanif dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (8/6/2025).
Hanif menyebut memang ada 13 perusahaan yang diperbolehkan untuk melanjutkan kontrak karya penambangan di kawasan hutan lindung sampai berakhirnya izin. Hal itu diatur dalam Undang-Undang No 19 tahun 2004 tentang Penentepan Perppu No 1 tahun 2004.
“Intinya Perppu tersebut mengecualikan 13 perusahaan yang seharusnya tidak boleh menambang di hutan lindung secara pola terbuka kecuali 13 perusahaan termasuk PTGN (Gag Nikel). Dengan demikian maka berjalanlah kegiatan penambangan legal di Pulau Gag ini seluas 6.030 hektare,” bebernya.
Namun, kata Hanif, beberapa hal harus dipertimbangkan. Pertama, terkait kegiatan pertambangan yang berada di pulau kecil sesuai Undang-Undang Nomor Nomor 1 tahun 2014. Kemudian, yang juga menjadi perhatian serius Kementerian LH, kata Hanif, yakni terkait dengan kerentangan ekosistem Raja Ampat.
“Persetujuan lingkungan mestinya kita tinjau kembali atau kita mungkin pertimbangkan memberikannya bila mana teknologi penanganannya tidak kita kuasai atau kemampuan kita untuk merehabilitasi tidak mampu,” ujarnya.
Ia menegaskan Raja Ampat perlu mendapat perhatian serius. Dampak yang ditimbulkan pertambangan akan diminta untuk dipulihkan.
“Yang harus kita perhatikan pertama undang-undang Nomor 1 tahun 2014 tentang perubahan undang-undang nomor 7 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kementerian LH menyatakan berpegang teguh pada UU tersebut,” pungkas dia.
Dia juga menegaskan dalam beleid kegiatan pertambangan di pulau kecil tidak menjadi prioritas. Hal ini dikuatkan dengan keputusan Makamah Agung (MA) Nomor 57 tahun 2022 dan keputusan MA Nomor 35 tahun 2023.
“Keputusan MA itu kemudian menganggap bahwa pelaksanaan pelarangan kegiatan pertambangan di pulau kecil ini dilakukan tanpa syarat,” tegas dia.
Keputusan itu terjadi pada kasus di Kepulauan Konawe. Saat itu, ada suatu perusahaan yang digugat oleh masyarakat. Mahkamah Agung memenangkan masyarakat meskipun perusahaan tersebut sudah sangat lengkap dokumennya.
Perusahaan tersebut melakukan gugatan akhir di MK. Kemudian, Mahkamah justru memperkuat keputusan MA tersebut.
“Artinya ini ada yurisprudensi hukum bahwa terkait dengan kegiatan-kegiatan ini memang menjadi hal yang dilarang terkait dengan kegiatan penambangan di pulau-pulau kecil. Ini menjadi rujukan kita pada saat mempertimbangkan persetujuan lingkungan yang harus kita kemudian review untuk kita evaluasi kembali,” bebernya.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan