JEPARA – Pengaruh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah tatanan sosial masyarakat. Termasuk mengubah tata nilai dan perilaku anak-anak. Sebab bila tidak digunakan dan dimanfaatkan dengan baik medsos akan bisa menjadi “teman” anak yang menyesatkan.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Yayasan Kartini Indonesia, Hadi Priyanto saat menjadi narasumber work shop pengembangan dan tantangan pendidikan anak yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Anak Margokerto Jum’ar (27/10) di Kedai Kebun Kita desa Bondo Jepara. Kegiatan tersebut diikuti oleh Komunitas Orang Tua Peduli Anak dan anak-anak binaan yang terdiri dari pelajar SMP dan SMA. Kegiatan tersebut juga dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda.
Lebih jauh Hadi Priyanto mengungkapkan, media sosial saat ini menyita perhatian dan waktu \anak-anak hingga mereka mengabaikan realitas sosial yang ada disekelilingnya. Ironisnya, banyak orang tua yang juga hanyut dalam model komunikasi dan nilai yang dibentuk medsos. ” Padahal banyak nilai yang sangat merusak karakter anak anak kita, mulai pornografi, hingga mengabaikan relasi sosial dengan teman teman yang ada disekitarnya. Bahkan mengabaikan realitas yang ada” ujar Hadi. Karena itu sudah saatnya muncul kesadaran kolektif masyarakat untuk mengawasi dan membimbing penggunaan medsos bagi anak anak. Caranya dengan mengembangkan budaya literasi. Hingga anak mengetahui dampak medsos baik dari sisi positif maupun negatif serta cara pemanfaatannya.
Bukan hanya medsos, menurut Hadi acara televisi juga banyak yang tidak mendidik anak anak. Mulau isi acara, jam tayang hingga nilai yang ditawarkan. ” Saya tidak terkejut kalau ibu ibu suka film India dan anak anak suka film Korea dan info tentang selibritis” ujar Hadi seusai menanyakan kepada sejumlah peserta work shop apa yang sering dilihat di televisi. Sebab walaupun tidak banyak nilai yang bisa diambil, film dan acara itu dikemas secara menarik.
Terkait dengan hak anak untuk mengembangkan potensi dirinya, Hadi Priyanto juga mengkritik para guru SMA / SMK yang masih memberikan pekerjaan rumah. ” Mereka telah belajar di sekolah hampir 9 jam. Pasti mereka sangat lelah kalau masih dibebani dengan PR. Jadinya mereka justru tidak senang belajar, tetapi dupaksa untuk belajar” ujar Hadi. Harus ada perubahan pola pikir guru. Sebab justru metode belajar seperti itu tidak menumbuhkan minat dan keinginan anak untuk mengembangkan potensi dirinya. (Jeje)
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan