JAKARTA – GSI Lab tengah mendapat sorotan, dikait-kaitkan dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan. Luhut dituding berbisnis PCR karena ada saham PT Toba Bumi Energi dan PT Toba Sejahtra di GSI Lab.
Terkait hal ini, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto, mengungkapkan awal mula keterlibatan Luhut di GSI Lab.
Dia menjelaskan, tes PCR sangat mahal dan sulit pada masa awal pandemi Covid-19.
“Saya ingat pada tahun lalu, sekitar Maret 2020 ketika awal Covid-19 menyerang Indonesia. Saya yang baru diangkat sebagai komisaris BNI, mendapatkan fasilitas untuk tes PCR dari BNI. Bersama istri saya menuju salah satu rumah sakit di Jakarta untuk melakukan tes PCR ini. Belakangan saya ketahui, biayanya cukup mahal waktu itu, kalau tidak salah mencapai kisaran Rp 5-7 juta untuk satu orang. Hasilnya dijanjikan 3 hari, namun setelah 5 hari baru keluar,” kata Seto dalam keterangan tertulis, Senin (8/11).
Kejadian itu membuatnya tersadar bahwa Indonesia akan keteteran menghadapi pandemi Covid-19. Penanganan pasien Covid-19 bakal terlambat karena butuh waktu lama untuk mendeteksinya, penularan juga akan tinggi sehingga jatuh banyak korban.
“Tanpa berpikir panjang, saya lapor ke Pak Luhut situasi yang ada pada waktu itu. Saya sampaikan, kita harus bantu soal tes PCR ini. Kalau mengandalkan anggaran pemerintah, akan butuh waktu lama untuk bisa menambah kapasitas PCR ini, dari proses penganggaran, tender, sampai kemudian sampai pembayaran. Saya cukup yakin soal ini berdasarkan pengalaman 5 tahun lebih di pemerintahan,” ujar Seto.
Akhirnya Luhut memerintahkan Seto mencari alat PCR dan mendonasikan alat-alat tersebut ke Fakultas Kedokteran beberapa kampus. Uang untuk membeli alat PCR berasal dari sumbangan Luhut dan teman-temannya. “Soal uang, nanti kita sumbang saja To,” kata Seto menirukan instruksi Luhut kepadanya.
“Banyak pihak yang bergotong royong untuk membantu pemerintah meningkatkan kapasitas PCR saat itu. Kementerian BUMN, melalui perintah Pak Erick dan Pak Budi Sadikin, membeli cukup banyak alat PCR saat itu. Lalu Pak Luhut dan teman-temannya juga memberikan donasi yang nilainya cukup besar untuk meningkatkan kapasitas PCR di banyak Fakultas Kedokteran di Indonesia, dan saya yakin banyak pihak lain yang juga berusaha keras untuk membantu dengan berbagai cara supaya kapasitas tes Covid-19 melalui PCR di Indonesia pada waktu itu bisa ditingkatkan. Kami tidak ada memikirkan untung-rugi waktu ituD. ari gotong royong untuk membantu peningkatan kapasitas PCR itu, kemudian lahir GSI Lab. Diakui Seto, dirinya kurang hati-hati sehingga tidak memperhatikan adanya potensi konflik kepentingan. Luhut akhirnya kena tudingan karena hal ini,” jelasnya.
“Memang saya akui, saya kurang hati-hati dalam mengingatkan Pak Luhut terkait dengan saham GSI sehingga muncul potensi conflict of interest ini buat pak Luhut (jujur saya sendiri juga lupa kalau Toba Sejahtera berpartisipasi di GSI). Tapi memang kondisi pada saat GSI didirikan saat itu membutuhkan keputusan yang cepat terkait peningkatan kapasitas test PCR ini,” katanya.
Soal GSI Lab, Seto menegaskan tujuan didirikannya tujuan sosial. Tidak ada keuntungan yang dibagikan kepada pemegang saham.
“Di dalam perjanjian pemegang saham GSI, ada ketentuan bahwa 51 persen dari keuntungan harus digunakan kembali untuk tujuan sosial. Oleh karena itu, sampai detik ini tidak ada pembagian keuntungan seperti dividen kepada pemegang saham. Hasil laba yang lain digunakan untuk melakukan reinvestasi terhadap peralatan atau kelengkapan lab yang lain (salah satunya adalah untuk melakukan genome sequencing). Perlu diketahui, ketika diawal operasi GSI ini menggunakan fasilitas tanah dan bangunan secara gratis yang diberikan oleh salah satu pemegang saham,” tutupnya.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan