JEPARA – Kegelisahan anak-anak muda desa Senenan yang sejak tahun 2005 ditetapkan menjadi sentra relief ditumpahkan dalam sarasehan Pemberdayaan dan Pelestarian Seni Ukir dan Relief yang diselenggarakan oleh Karang Taruna Putu Sentana desa Senenan di balai desa setempat.

Pada umumnya mereka cemas karena seni ukir termasuk relief semakin ditinggalkan oleh generasi muda.  Mereka beralih bekerja di pabrik-pabrik yang tumbuh bagai jamur di Jepara.  Juga tidak adanya pelestarian lewat lembaga pendidikan serta semakin berkurangnya pelestarian alamiah lewat keluarga perajin. Karena itu mereka sepakat untuk mendirikan Sanggar Belajar Ukir. Selasa (17/10/2017).

Sarasehan yang diikuti oleh sekitar 100 orang pemuda, mahasiswa, petinggi, perangkat desa dan Ketua BPD desa Senenan ini menghadirkan nara sumber Hadi Priyanto, Iskak Wijaya dan Didin Ardiansyah dari Yayasan Kartini Indonesia. Acara yang ini diselenggarakan dalam rangka pelatikan pengurus Karang Taruna Putu Sentana desa Senenan periode 2017-2020. Kepengurusan ini diketuai Bobby Afianto.

Dalam paparannya berjudul kearifan lokal di ujung takdirnya Hadi Priyanto yang juga Ketua Lembaga Pelestari Seni Ukir, Batik dan Tenun Jepara menguraikan ancaman terhadap kearifan lokal, termasuk seni ukir Jepara.

“Gaji seniman ukir yang rendah,   pelestarian yang tidak optimal, kebijakan pemerintah yang kurang berfihak pada perajin, lembaga sertifikasi yang jalan ditempat hingga banyaknya pabrik-pabrik di Jepara yang menyedot puluhan tenaga kerja muda sebagai buruh membuat sektor mebel ukir berlahan ditinggalkan oleh pewarisnya,” ujar Hadi Priyanto.

Bahkan saat ini di Senenan hanya ada 6 unit usaha relief dengan sekitar 23 seniman relief yang jumlahnya semakin berkurang, tambah Hadi Priyanto.

Ia juga menyesalkan, pembukaan jurusan dekorasi ukir di SMKN 2 Jepara gagal dilakukan. Walaupun pembukaan program keahlian itu dilakukan oleh Gubernur Jateng pada tanggal 12 April 2014 dan tahun ini telah meluluskan siswa dengan ijazah program keahlian kriya kayu.

“Program ini kemudian ditutup dan dimasukkan kembali ke program keahlian kriya kayu. Alasannya tidak ada nomenklatur program keahlian dekorasi ukir. Ini hanya salah satu bentuk ketidak seriusan pemerintah. Padahal telah ada instruksi Presiden no 9 tahun 2016 tentang revitalisasi SMK  yang salah satu instruksinya adalah penyempurnaan dan penyelarasan kurikulum dengan kebutuhan kerja dan dunia usaha,” Ungkap Hadi Priyanto.

Sementara Iskak Wijaya berharap,  kebangkitan minat anak anak muda di Senenan untuk melestarikan kearifan lokal ini mendapatkan tanggapan yang baik dari semua pemangku kepentingan. Sedangkan Didin Ardiansyah mengajak anak anak muda untuk membuat momentum kebangkitan minat masyarakat pada kearifan lokal, termasuk seni ukir yang jika tidak diselamatkan akan mati.

“Lakukan kegiatan kreatif untuk menyebarkan virus cinta budaya ketengah tengah masyarakat,” ujar Didin yang dikenal sebagai seniman multi talen. (Jaenal)