JAKARTA – Wakil Ketua Komisi II DPR, Lukman Edy memetakan ada bebarapa potensi masalah dan solusinya dalam Pilkada Serentak 2018. “Kurangnya sosialisasi aturan oleh KPU dan Bawaslu, membuat peserta maupun penyelenggara banyak yang kurang paham. Solusi dari Komisi II adalah dengan sosialisasi yang masif serta perlu juga didorong pengeluaran surat edaran,” jelas Lukman saat diskusi publik bertajuk “Potensi Masalah Pilkada Serentak 2018” di KPU, Selasa (7/11/17) siang.

Pemicu yang biasanya terjadi adalah incumbent. Komisi II, kata Lukman selalu curiga dengan praktik incumbent untuk memenangkan dirinya sendiri. Maka itu, pasal ihwal incumbent diperketat. Khususnya sosialisasi Pasal 71 dan penjelasannya harus masif juga. Potensi konflik dan pasal 71 itu berpotensi multitafsir dan dapat digunakan lawan-lawan Incumbent.

“Ternyata kekurangpahaman terhadap UU Pilkada, Bawaslu dan peraturan KPU, bukan terjadi di tingkat masyarakat saja, di tingkat pelaksanaan pemilu juga kurang paham,” katanya. Selain itu, konflik dapat terjadi akibat keterlibatan aparatur sipil negara (ASN), TNI, dan Polri yang mendukung salah satu pihak. Baik dalam pilkada serentak maupun pemilu.
Ada pula keterlibatan di tubuh Polri dan TNI. Lukman mencontohkan, di Kepulauan Riau pada 2015 incumbent didukung oknum TNI dan .lawannya didukung oknum Polri. Keduanya sama-sama menurunkan intel ke desa-desa untuk mempengaruhi pemilih. Di 2018 pun, sudah terlihat potensi ini di Kalimantan Timur. “Kapolda mau jadi kandidat. Ada proses ketakutan oleh calon lain kasus diangkat dan lain-lain,” jelas Lukman.
Potensi lain yang dapat menyebabkan konflik adalah adanya politik uang dalam pilkada, seperti praktik jual-beli suara di TPS dan pemberian sembako. “Akibat politik uang, baik itu membeli suara secara eceran maupun membeli suara grosiran,” tegasnya.
Lukman juga mengatakan, pelanggaran lainnya dalam kampanye yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik adalah salah satunya dengan penggunaan isu SARA dan bullying dari partai tertentu. (Jones)