JEPARA – Walaupun sampai saat ini predikat Jepara sebagai kota ukir dan sekaligus sebagai pusat ukir dunia belum tergantikan kota lain, namun kecemasan akan masa depan seni ukir Jepara semakin menguat. Pasalnya generasi muda Jepara sekarang kurang berminat untuk menekuni seni kerajinan ini, sebab mereka menilai seni ukir tidak menjanjikan masa depan yang layak. Karena itu mereka memilih bekerja di pabrik atau perusahaan lain. Dampaknya sekarang semakin sulit mencari tenaga kerja muda yang memiliki ketrampilan seni ukir.

Namun demikian, masa depan seni ukir masih bisa dibagun kembali jika semua pemangku kepentingan, mulai pemerintah pusat, propinsi, kabupaten, pengusaha, lembaga pendidikan hingga para perajin ukir bersedia duduk bersama untuk membicarakan persoalan pelestarian seni ukir ini dari hulu sampai hilir. Hal tersebut terungkap dalam dialog yang dipandu oleh Arief Darmawan dengan tema Senjakala Seni Ukir Jepara di radio Kartini FM, Sabtu malam ( 16 / 12 ). Dialog itu menghadirkan Hadi Priyanto, Ketua Lembaga Pelestari Seni Ukir, Batik dan Tenun Jepara, Margono, Ketua Himpunan Perajin Kayu Jepara, Sutarya dosen fakultas Sains dan Teknologi Unisnu serta Miftakhur Rahman dari Kampung Sembada Ukir Petekeyan.

“Perlu disusun peta jalan pelestarian dan pengembangan seni ukir Jepara yang menjadi pedoman semua fihak. Namun peta jalan ini harus benar-benar ditindaklanjuti. Tidak seperti sekarang. “ ujar Hadi Priyanto. Ia mengambil contoh, Perda no 1 tahun 2011 tentang Pendidikan yang mewajibkan semua satuan pedidikan menempatkan seni ukir sebagai muatan lokal juga tidak sepenuhnya berjalan. Juga Peraturan Bupati no 10 tahun 2014 tentang pemberian ornamen ukiran pada semua bangunan milik pemerintah tidak diimplementasikan dengan baik, tambah Hadi Priyanto. 

Diungkapkan pula, pembukaan jurusan seni ukir di SMKN 2 Jepara yang pernah dilakukan oleh Gubernur Jateng tahun 2014 juga tidak berhasil mendapatkan ijin dari Kemenikbud hingga ditutup kembali setelah menerima murid 3 angkatan, tambah Hadi Priyanto. Demikian juga kursus seni ukir di Kelas Pembangunan Tahunan tidak ada lagi pasca reformasi saat dilakukan pembagian tugas antara pemerintah kabupaten dan provinsi. BLK juga tidak ada program pelatihan seni ukir, termasuk semakin kecilnya animo anak-anak muda yang bersedia nyantrik atau magang di brak-brak mebel. “ Pintu masuk pelestarian untuk tenaga kerja terampil sepertinya tidak ada lagi” ujar Hadi Priyanto.

Namun menurut Sutarya, kaderisasi melalui perguruan tinggi malah berjalan baik dengan kehadiran fakultas Sains dan Teknologi Unisnu. “memang kami lebih berkonsentrasi pada desain dan pengetahuan dasar tentang seni ukir. Bukan sebagai tenaga ukir. Harapannya akan muncul produk-produk ukir baru dari Jepara yang peluagnnya terbuka luas “ ujar Sutarya. Agar seni ukir tetap menarik minat generasi muda, satu-satunya jalan adalah memberikan upah yang layak, sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Bukan hanya sesuai dengan UMR. Jika sesuai UMR memang penghasilan perajin ukir lebih rendah dari tukang batu dan tukang kayu.

Kelangkaan tenaga trampil di bidang seni ukir juga dikeluhkan oleh Margono, Ketua Himpunan Perajin Kayu Jepara. “Duduk bersama adalah pintu masuk untuk mencari resep terbaik dalam melestarikan seni ukir Jepara. Namun ini perlu berkesinambungan dan itegratif hingga dapat dicari sulisi secara komprehensif” ujar Margono.

Pendapat berbeda justru diungkapkan oleh Miftakhur Rahman dari Kampung Sembada Ukir Petekeyan. “Untuk seni ukir minimalis tenaga kerja masih cukup banyak sebab memang jenis barang yag dikerjakan sangat sederhana tidak seperti seni ukir Jepara” ujarnya. Namun demikian ia sangat mendukung dan berharap pelestarian melalui lembaga pendidikan dapat dihidupkan kembali. Disamping itu, upah yang layak juga sangat penting untuk membangkitkan kembali minat generasi muda pada seni ukir. (Rai)