Jakarta, indonesiaparlemen.com – Proses persidangan dengan terdakwa Iwan Cendekia Liman di PN Jakarta barat yang telah diputus terindikasi sarat akan kejanggalan, dipaksakan serta diduga dikendalikan oleh mafia peradilan.

Iwan Cendekia Liman yang didakwa melakukan tindak pidana penggelapan pasal 372 KUHP atas kepemilikan sebuah mobil Ferrari 458 Speciale berdasarkan laporan Rezky Herbiyono. Dimana mobil tersebut dibeli dari pihak leasing PT. Mitsui berdasarkan penawaran resmi dari pihak PT. Mitsui karena Rezky Herbiyono sebagai debitur telah gagal memenuhi kewajibannya untuk melunasi down payment mobil tersebut. Oleh karena itu sebagai pihak penerima fidusia, PT. Mitsui menawarkan mobil tersebut dengan surat penawaran resmi kepada Iwan Cendekia Liman dengan status unit tarikan.

Namun setelah melakukan pelunasan sebesar Rp 10,2 milyar terhadap cicilan mobil tersebut, dan telah mendapatkan BPKB dan STNK mobil tersebut, Rezky Herbiyono kemudian melaporkan Iwan Cendekia Liman ke Polisi atas tuduhan penggelapan.

Laporan polisi yang dibuat oleh Rezky Herbiyono terhadap Iwan Cendekia Liman  Ini tentu saja merupakan sebuah bentuk kezaliman karena posisi Iwan sebenarnya adalah penerima pengalihan hak fidusia dari PT. Mitsui sebagai penerima fidusia.

Namun laporan ini tetap dilanjutkan oleh kepolisian, dimana Iwan Cendikia Liman langsung ditetapakan menjadi tersangka sampai berkas dinyatakan P21 dan diserahkan ke Kejaksaan. JPU Kejaksaan Negeri Jakarta Barat kemudian mendakwa Iwan Cendekia Liman dengan Surat Dakwaan No : PDM-323/Jkt.Brt/07/2017 dibacakan pada tanggal 20 Juli 2017, Sedangkan pelimpahan berkas perkara dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Barat ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat baru dilakukan pada tanggal 25 Juli 2017 melalui surat No. TAR-12830/)0.1.12/EP.1/07/2017. 

Artinya Dakwaan dibacakan sebelum pelimpahan berkas perkara dilakukan sehingga surat dakwaan yang dinilai mengandung cacat substansi dan kabur (obscuur) serta tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 143 Ayat (2) huruf b jo. Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE-004/J.A/11/1993 Tentang Pembuatan Surat Dakwaan.

Surat Dakwaan JPU tersebut yang diduga tidak cermat dalam penulisan tanggal serta penguraian tindak pidana serta unsur-unsur pasal yang didakwakan (instrument delicti) sudah seharusnya dinyatakan sebagai Surat Dakwaan yang tidak memenuhi syarat dan konsekuensinya batal demi hukum.

Hal tersebut juga sebagaimana diatur dalam kaidah yurisprudensi dalam Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 808/K/Pid/1984 yang menyatakan : Dakwaan tidak cermat, jelas dan lengkap sehingga harus dinyatakan batal demi hukum.

Ketidakcermatan Jaksa kembali terjadi pada saat menyusun memori kasasi, dimana Jaksa mengaitkan perkara Narkoba No Perkara: 258/Pid.Sus/2017/PT.DKI tanggal 1 November 2017 yang jelas-jelas tidak ada hubungannya sama sekali dengan perkara yang sedang dihadapi Iwan Cendekia Liman. Informasi yang didapat awak media, Iwan Cendekia Liman tidak pernah terlibat dalam perkara Narkoba apapun.

Kejanggalan lainnya terjadi pada saat Pengadilan Negeri Jakarta barat tidak memberikan terdakwa kesempatan untuk melakukan pembelaan (pleidooi) seperti lazimnya proses dalam peradilan pidana yaitu pada persidangan setelah pembacaan tuntutan JPU. Yang terjadi terdakwa malah dipaksa untuk menyusun pembelaan di hari yang sama dengan hari persidangan pembacaan tuntutan yaitu tanggal 16 Oktober 2017.

Bahkan di hari yang sama dengan pembacaan requisitoir dan pleidooi, yaitu tanggal 16 Oktober 2017, Majelis Hakim membacakan putusannya. Hal tersebut terkesan tidak mencerminkan persidangan yang adil karena pembacaan tuntutan, pembelaan serta putusan semua dilakukan dalam satu hari yaitu pada tanggal 16 Oktober 2017.

Keseluruhan proses tersebut juga mengindikasikan bahwa adanya dugaan praktek mafia peradilan masih terjadi di lembaga peradilan di Indonesia. Hal yang tentu saja tidak sesuai dengan cita-cita reformasi serta cita-cita penegakan hukum saat ini.

Dikabarkan pihak keluarga terdakwa saat ini masih berupaya menempuh jalur hukum demi memperjuangkan hak terdakwa yang diduga menjadi korban konspirasi dan mafia peradilan. (Mw)