Foto: ilustrasi

JAKARTA – Hari AIDS Sedunia diperingati pada bulan Desember setiap tahunnya di seluruh dunia. Momentum ini biasanya digunakan untuk menggencarkan pembahasan terkait HIV/AIDS sesuai dengan kondisi terkini.

United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) menyebutkan, di Indonesia terdapat sekitar 543.100 orang yang hidup dengan HIV dengan estimasi 27.000 kasus infeksi baru di tahun 2021.

Krittayawan Boonto dari UNAIDS Country Representative menyebutkan, 40% kasus infeksi baru HIV terjadi pada perempuan. Sementara itu, 51% terjadi pada kelompok remaja usia 15-24 tahun dan 12% infeksi baru pada anak. Sayangnya, hanya 28% yang menerima pengobatan antiretroviral (ARV).

UNAIDS menyebutkan, Indonesia menduduki posisi tiga terbawah di Asia Pasifik untuk cakupan pengobatan ARV bersama dengan Pakistan dan Afghanistan.

“Hampir setengah dari kasus infeksi HIV baru pada anak, dipastikan berasal dari ibu yang tidak menerima terapi ARV,” kata Krittayawan Boonto dalam keterangan tertulis kepada Indonesiaparlemen.com di Jakarta, Sabtu (3/12/2022).

Krittayawan Boonto menambahkan, data UNAIDS juga menunjukkan bahwa ada banyak ibu menghentikan terapi, selama masa hamil dan menyusui. Selain itu adanya hambatan hukum yang mempersulit para ibu melakukan tes HIV dan memulai terapi ARV sebelum hamil menyebabkan semakin meningkatnya kasus penularan.

Dikatakan Krittayawan Boonto, berdasarkan data UNAIDS tahun 2021, jumlah orang dengan HIV secara global mencapai 38,4 juta jiwa.

Krittayawan Boonto menegaskan, untuk mengakhiri epidemi AIDS, perempuan dan anak harus menjadi prioritas setiap tahunnya. Pasalnya, angka orang dengan HIV terus meningkat.

Selain itu, perempuan dan anak dengan HIV merupakan populasi kunci yang seharusnya menjadi prioritas untuk mengakhiri epidemi AIDS. Sayangnya, mereka masih menghadapi berbagai tantangan untuk melakukan pengobatan.

Dikatakannya, pada ibu hamil dan menyusui alasan untuk menghentikan terapi karena adanya keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan, biaya, stigma dan diskriminasi dari lingkungan sekitar dan efek samping obat.

Sementara itu, bagi anak dan remaja juga bukan hal yang mudah untuk mengakses layanan kesehatan. Krittayawan Boonto menuturkan, adanya keterbatasan obat khusus anak dan hambatan hukum seperti kebijakan persyaratan usia juga menjadi alasan sulitnya mendapatkan pengobatan.

Belum lagi pengetahuan mengenai isu HIV serta kesehatan seksual dan reproduksi, stigma masyarakat dan kurangnya dukungan keluarga semakin menyulitkan mereka untuk bisa mengakses antiretroviral therapy.

Untuk merealisasikan epidemi AIDS pada 2030, Krittayawan Boonto menuturkan, semua orang harus meningkatkan upaya pencegahan, orang dengan hasil tes positif harus segera menjalani treatment ARV. Selain itu, orang yang sedang menjalani pengobatan harus disiplin untuk mencapai viraload tersupresi.

“Penguatan multi-sektoral menjadi penting untuk dilakukan agar mendapatkan dukungan yang cukup untuk program HIV. Negara juga harus prioritaskan pembiayaan program HIV. Dengan begitu, saya yakin bahwa kita semua dapat akhiri AIDS pada 2030,” pungkasnya.

Jurnalis: Agung Nugroho