Foto: Prajurit TNI

JAKARTA –  Pengamat militer dan pertahanan Susaningtyas Kertopati merespons dikirimnya Prajurit TNI dari Batalyon Infanteri (Yonif) Para Raider 330/Tri Darma Kostrad dikirim ke Papua. Menurutnya diperlukan pasukan yang terlatih untuk di kirim k Papua.

“Menurut saya prajurit yang akan dikirim diberi pengetahuan bukab saja hal terkait strategi militer tetapi juga diberi pemahaman sedikit terkait dinamika Geopolitik Geoekonomi Papua, sehingga prajurit memahami juga adat budaya, situasi kondisi berikut komunikasi setempat,” kata Susaningtyas kepada Indonesiaparlemen.com, Selasa (20/6/2023).

Dia berujar, prajurit Kostrad yang dikirim tugas utamanya menangani Operasi Militer Selain Perang yang bersifat tempur dalam bentuk operasi mengatasi gerakan separatis bersenjata, operasi mengatasi pemberontakan bersenjata, operasi mengatasi aksi terorisme, operasi mengamankan wilayah perbatasan, oprasi mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis.

Selain itu, prajurit yang dikirim juga harus pahami awal mula konflik Papua.

“Konflik politik mengenai Irian Jaya antara kita dengan Belanda sudah berlangsung sejak Indonesia merdeka tahun 1945 yang tidak selesai dalam Konperensi Meja Bundar (KMB) 1949 dan pada tahun 1960-1963 dilanjutkan melalui perundingan Middleburg dan perjanjian New York yang dimediasi oleh Amerika Serikat (AS),” ujar dia

Mantan Anggota Komisi I DPR itu juga mengatakan kepentingan AS di era perang dingin tersebut adalah membendung komunisme di Asia dan menjauhkan hubungan Indonesia dengan Uni Soviet.

“Akhirnya melalui Referendum Act of Free Choice atau Pepera pada tahun 1969 oleh PBB yang didominasi oleh AS, Irian Jaya diakui dunia masuk dalam wilayah RI,” ujar dia

Kepentingan AS, kata Susaningtyas, pada waktu itu adalah mendirikan perusahaan tambang tembaga di Ertsberg pada tahun 1970. Namun pemerintah RI tidak memberi syarat kepada AS untuk ikut memerangi ide separatisme Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang telah berdiri sejak tahun 1963 atas dukungan Belanda.

“Ada hal yang penting juga yaitu merubah sebutan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) menjadi Kelompok Separatis Teroris (KST). Istilah KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) jangan dipakai lagi karena sudah tidak cocok dengan perkembangan yang ada dimana sudah mengancam kedaulatan negara khususnya wilayah Papua,” jelas dia.

Nuning mengusulkan pakai istilah KST atau Pembetontak Bersenjata.

Oleh sebab itu, kata dia, selama masih disebut kriminal maka hanya sebatas kejahatan publik tentu rezim persenjataannya bukan seperti untuk hadapi kaum separatis.

Berikutnya terkait dengan jenis senjata dan bom yang digunakan oleh teroris masih tergolong konvensional, maka masuk kewenangan Polri.

“Tetapi jika senjata dan bom yang digunakan oleh teroris tergolong senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Destruction) seperti senjata nuklir, senjata biologi, senjata kimia dan senjata radiasi, maka yang menangani adalah TNI,” jelas Nuning.

Dia menambahkan perlunya dilakukan penyisiran secara terus menerus, untuk membersihkan senjata-senjata yg beredar di masyarakat dan berpotensi memicu serangan mendadak.

“Hal yang menurut saya juga penting bila memberangkatkan pasukan ke Papua hendaknya jangan diumumkan baik melalui media massa ataupun lisan. Dari sisi Intelijen hal ini bisa membahayakan prajurit yang bertugas karena pihak KST yang lebih paham wilayah tempur tentu lebih siap menghadang operasi prajurit disana,” pungkas dia.

Jurnalis: Agung Nugroho