Yusril Ihza Mahendra

JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra, ikut memberikan keterangan terkait putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja.

Dalam putusannya, MK meminta dilakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja Omnibus Law dalam jangka waktu 2 tahun. MK menilai penyusunan UU ini cacat secara formil.

Menyikapi putusan MK, Yusril mengatakan Pemerintah Presiden Jokowi tidak mempunyai pilihan kecuali bekerja keras memperbaiki UU Cipta Kerja setelah putusan MK.

“Jika dalam dua tahun UU tersebut tidak diperbaiki, maka UU itu otomatis menjadi inkonstitusional secara permanen,” kata Yusril kepada wartawan, dikurip dari Kumparan.com, Kamis (25/11/2021).

“MK juga menyatakan, jika dalam dua tahun tidak diperbaiki, maka semua UU yang telah dicabut oleh UU Cipta Kerja itu otomatis berlaku kembali. Ini jelas dapat menimbulkan kekacauan hukum,” tambah dia.

Yusril menjabarkan, dalam putusannya MK juga melarang pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana terhadap UU Cipta Kerja selain yang sudah ada. MK juga melarang pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan baru yang berdampak luas yang didasarkan atas UU Cipta Kerja selama UU itu belum diperbaiki.

“Putusan MK itu mempunyai dampak yang luas terhadap Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kini tinggal lebih kurang tiga tahun lagi sampai tahun 2024,” ucap Yusril.

Menurut Yusril, kebijakan super cepat yang ingin dilakukan Pemerintah Jokowi sebagian besar didasarkan kepada UU Cipta Kerja. Tanpa perbaikan segera, kebijakan baru yang akan diambil Jokowi otomatis akan terhenti.

Artinya, hal ini berpotensi melumpuhkan pemerintah yang justru ingin bertindak cepat memulihkan ekonomi yang terganggu akibat pandemi COVID-19.

“Pemerintah dapat menempuh dua cara mengatasi hal tersebut. Pertama memperkuat Kementerian Hukum dan HAM sebagai law centre dan menjadi leader dalam merevisi UU Cipta Kerja,” jelas Yusril.

“Kedua, pemerintah dapat segera membentuk Kementerian Legislasi Nasional yang bertugas menata, mensinkronisasi dan merapikan semua peraturan perundang-undangan dari pusat sampai ke daerah,” tambah dia.

Sebab, keberadaan kementerian baru menurut Yusril sebenarnya sudah disepakati antara pemerintah dengan DPR di akhir periode pertama pemerintahan Jokowi.

Namun, hingga kini kesepakatan itu belum dilaksanakan karena kemungkinan terbentur dengan pembatasan jumlah kementerian yang diatur dalam UU Kementerian Negara.

“Sesuai kesepakatan, sebelum kementerian tersebut terbentuk, maka tugas dan fungsinya dijalankan oleh Kementerian Hukum dan HAM,” kata Yusril.

Yusril menilai, sejak awal UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan cara meniru Omnibus Law di Amerika dan Kanada itu sudah bermasalah. Pasalnya, RI sudah mempunyai UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Setiap pembentukan peraturan maupun perubahannya, secara prosedur harus tunduk pada UU itu. MK yang berwenang menguji materil dan formil terhadap UU, menggunakan UUD 45 sebagai batu ujinya jika melakukan uji materil. Sementara, jika melakukan uji formil, MK menggunakan UU No 12 Tahun 2011 itu,” tutur Yusril.

Oleh sebab itu, Yusril mengatakan ketika UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan meniru gaya Omnibus Law diuji formil dengan UU Nomor 12 Tahun 2011, UU tersebut bisa dirontokkan oleh MK.

MK akan memutus bahwa prosedur pembentukan UU Cipta Kerja menabrak prosedur pembentukan UU sebagaimana diatur oleh UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan.

Lebih lanjut, Yusril mengaku tidak heran dan kaget dengan putusan ini. Malah, masih bagus MK hanya menyatakan inkonstitusional bersyarat. Jika MK memutus murni inkonstitusional, maka Pemerintahan Jokowi akan berada di posisi sulit.

Sehingga Yusril menyarankan Presiden Jokowi bertindak cepat melakukan revisi menyeluruh terhadap UU Cipta Kerja, tanpa harus menunggu dua tahun.